SUDAH 15 tahun saya menetap di Bontang, sejak 2010. Sejak itu, saya menyaksikan banjir bukan hal asing. Namun, harus diakui, areal genangan saat ini lebih luas dibandingkan dulu.
Saya merasakan sendiri bagaimana rasa was-was itu muncul setiap hujan deras turun. Ada lelah fisik, tapi yang lebih berat adalah kelelahan psikis warga yang terus menjadi langganan banjir. Pengalaman saya sebelumnya tinggal di Samarinda, tepatnya di Kelurahan Selili, sedikit banyak membuat saya terbiasa dengan banjir. Di Bontang, pola banjir memiliki karakter berbeda. Muncul di titik-titik vital kota sehingga aktivitas warga langsung terganggu.
Senin malam (15/9/2025), hujan deras disertai angin kencang memicu banjir, longsor, dan pohon tumbang di sejumlah titik. Kawasan Perumahan Bontang Permai RT 07, Kelurahan Api-Api menjadi yang paling parah. Genangan air mencapai perut orang dewasa, memaksa ratusan jiwa dievakuasi ke masjid.
Di Jalan Imam Bonjol, air menutup akses jalan hingga polisi terpaksa melakukan penutupan arus lalu lintas. Jalan Brokoli Raya juga tak luput dari genangan. Bahkan banyak pengendara nekat menerobos hingga kendaraannya mogok.
RT 11 Kelurahan Belimbing mengalami banjir terparah dalam tujuh tahun terakhir. Sementara longsor menutup jalan tembusan dari Perumahan Bukit Sintuk ke RT 41 Belimbing.
Jalan Ahmad Yani pun tak kalah parah. Genangan air menutup sebagian ruas, diperparah proyek perbaikan jalan yang belum selesai sehingga aliran air tersumbat.
Situasi ini menambah kesemrawutan lalu lintas. Tak ketinggalan, titik lain seperti Kelurahan Telihan, Guntung, Gunung Elai, dan Kanaan ikut tergenang dengan ketinggian bervariasi.

Di balik situasi banjir ini, ada hal yang patut diapresiasi: respons cepat Pemkot Bontang. Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni, turun langsung ke titik banjir. Ia juga meninjau turap yang belum rampung di kawasan Bontang Permai dan menginstruksikan aparat, mulai camat hingga lurah, untuk bergerak. “Progres pengerjaan baru mencapai sekitar 70 persen. Insya Allah kalau sudah selesai, penanggulangan banjir di Bontang akan teratasi,” kata Neni.
Neni juga menegaskan, selain menunggu rampungnya proyek fisik, masyarakat harus sadar menjaga lingkungan. “Alam tidak butuh kita, justru kita yang butuh alam. Jangan buang sampah sembarangan, jangan menebang pohon. Semua itu berkontribusi terhadap banjir,” pesannya.
Instruksi itu segera ditindaklanjuti Camat Bontang Utara, Muhammad Nur. Ia memastikan koordinasi cepat dilakukan. “Kami sudah menyiapkan langkah koordinasi, termasuk bekerja sama dengan Baznas untuk penyaluran bantuan makanan darurat,” ujarnya.
Pernyataan ini memberi sinyal bahwa Pemkot berupaya menutup celah di sektor logistik, agar warga terdampak tidak dibiarkan tanpa bantuan di tengah genangan.
Kepala BPBD Kota Bontang, Usman, melalui Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Eko Mashudi, mencatat sekitar 900 jiwa terdampak di Perumahan Bontang Permai. “Kami khawatir jika hujan di hulu kembali turun, debit air semakin naik. Karena itu, evakuasi segera kami jalankan,” ujarnya.

Namun apresiasi tidak boleh membuat kita lengah. Proyek tanggul yang baru 70 persen harus segera dituntaskan agar tak ada lagi bagian “bolong” seperti dikeluhkan warga. Drainase, pintu air, normalisasi sungai, hingga perbaikan jalan Ahmad Yani mesti jadi prioritas agar tidak terus menjadi titik rawan.
Transparansi juga penting. Warga berhak tahu berapa rumah yang rusak, apa kebutuhan logistik, dan bagaimana langkah pasca-banjir. Banjir kali ini seharusnya jadi momentum refleksi. Pemkot dituntut menuntaskan pekerjaan rumah, sementara warga juga harus sadar menjaga lingkungan.
Bontang adalah rumah bagi ratusan ribu keluarga. Jika turap, drainase, dan infrastruktur rampung tepat waktu, ditambah kesadaran bersama menjaga alam, kota ini bisa keluar dari siklus banjir tahunan yang melelahkan. Banjir bukan takdir, melainkan tantangan yang bisa diatasi dengan komitmen nyata. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.