Setelah lebih dari satu dekade, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan Jauhar Efendi. Bukan lagi lewat tulisan yang biasa ia kirim untuk saya tayangkan di Media Kaltim. Bukan sekadar obrolan via telepon. Tapi benar-benar bertatap muka, satu mobil saya antar sendiri, duduk satu meja, dan berbagi cerita secara langsung.
Saya kenal beliau sejak 2004, saat menjabat sebagai Karo Humas Setprov Kaltim. Saat itu saya ditugaskan liputan di Kantor Gubernur Kaltim. Komunikasi kami terus terjaga. Bahkan setelah beliau menjadi Asisten I Sekprov Kaltim, lalu kini sebagai widyaiswara senior di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kaltim, hubungan itu tak pernah putus. Karena satu hal: beliau tetap menulis. Hampir semua kegiatannya ia dokumentasikan sendiri dalam bentuk artikel dan dikirim langsung ke saya.
Kesempatan ini datang saat beliau mendampingi peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan XII yang sedang studi lapangan ke Pemkot Bontang. Saya jemput Jumat (18/7) pukul 19.00 Wita di Hotel Bintang Sintuk. Lokasinya tidak jauh dari rumah saya, sekaligus kantor Media Kaltim.
Saya ajak mampir ke kantor. Di ruang redaksi, kami duduk santai. Ngobrol soal dunia media yang makin dinamis, tantangan menjaga idealisme, hingga peran media lokal di tengah derasnya arus digital. “Luar biasa. Baru lima tahun, tapi sudah punya kantor sebagus ini,” komentarnya. Malam itu juga saya sempat berikan cenderamata berupa kaus Media Kaltim Nusantara Virtual Run dan medali finisher-nya. Sebuah bentuk kecil penghargaan atas dukungan dan relasi panjang kami.



Dari kantor, kami lanjut ke Batavia Café, yang berada di poros Jalan Kapten Pierre Tendean—tepat di dekat gapura pintu masuk kawasan Bontang Kuala. Lokasinya strategis, mudah dijangkau, dan sering jadi pilihan saya untuk menjamu tamu. Tempatnya nyaman, tersedia area indoor ber-AC maupun outdoor yang menghadap ke arah kawasan mangrove. Suasana malam itu tenang dan tidak banyak pengunjung. Kami duduk lesehan di area dalam.
Saya merekomendasikan menu khas Bontang: gami bawis—ikan laut segar dimasak dalam sambal pedas manis yang disajikan panas-panas di atas cobek tanah liat. Kami juga memesan gami telur dan ikan bakar baronang, yang dagingnya lembut dan gurih. Sangat cocok disantap malam hari dengan nasi hangat. Obrolan pun mengalir santai, hingga masuk ke hal-hal yang lebih serius.
Jauhar mulai bercerita soal masa singkatnya sebagai Pjs (Penjabat Sementara) Bupati Kutai Timur (Kutim) di akhir 2020. Tak sampai tiga bulan, tapi di masa itu ia mengambil keputusan besar: menarik kembali ratusan kendaraan dinas yang masih dikuasai mantan pejabat, bahkan beberapa sudah berganti plat hitam. “Banyak yang marah. Termasuk teman sendiri. Tapi camat-camat itu butuh kendaraan. Nggak mungkin kerja maksimal kalau mobil dinas masih dikuasai yang sudah pensiun atau pindah,” ujarnya tegas.

Semua kendaraan dikumpulkan dan dipajang di halaman Kantor Bupati. Setelah itu langsung didistribusikan kembali ke camat yang bertahun-tahun bekerja tanpa kendaraan operasional. Ia sadar langkah itu tidak populer. Tapi baginya, ini soal keberanian mengambil keputusan, meskipun tak menyenangkan banyak pihak. Soal keadilan dan tanggung jawab.
Sebelum kembali ke hotel, saya ajak mampir ke Masjid Terapung Darul Irsyad Al Muhajirin—masjid terapung di Kampung Selambai, Loktuan. Kami tiba malam hari, saat lampu-lampu masjid memantul di permukaan laut. Kubah emas dan bentuk bangunannya menyerupai kapal besar yang tengah berlabuh. “Baru kali ini saya ke sini. Sayang, potensinya besar tapi belum tertata maksimal,” katanya.
Masjid ini memang indah. Dibangun menyerupai bahtera, dengan balkon yang menjorok ke laut dan lantai kaca di beberapa titik. Kapasitasnya sekitar 300 jemaah. Tapi area parkir masih semrawut, menyisakan bekas bongkaran bangunan. Akses masuk pun belum sepenuhnya ramah bagi pengunjung. “Harusnya dirapikan, karena kawasan ini bisa jadi tempat wisata religi,” tambahnya.
Apalagi masjid ini sudah diresmikan sejak Maret 2022, dibangun dengan anggaran puluhan miliar, dan seharusnya bisa menjadi ikon wisata religi seperti masjid terapung di Makassar.
Kami menutup malam menjelang pukul 22.30 Wita. Lebih 3 jam saya membersamai. Saya antar beliau kembali ke hotel. “Terima kasih atas waktunya. Barakallah,” ucapnya sambil menjabat tangan. Malam itu bukan sekadar silaturahmi, tapi pengingat untuk tetap bergerak. Kami sepakat, kerja baik tak harus terlihat—yang penting dijalankan dengan konsisten dan penuh tanggung jawab.
Kini, di usia 64 tahun, Jauhar Efendi tengah bersiap memasuki masa pensiun tahun depan. Tapi semangatnya belum surut. Selama menjabat sebagai widyaiswara, ia telah terlibat sebagai anggota tim seleksi Sekda di sejumlah daerah, seperti Balikpapan, Berau, dan PPU (Penajam Paser Utara). Ia juga masih rutin membimbing pelatihan ASN. Dan satu hal yang tetap ia jaga: menulis. Karena bagi Jauhar, menjadi widyaiswara bukan sekadar mengajar, tapi menjaga marwah birokrasi.
Malam itu bagi saya bukan sekadar pertemuan. Tapi sebagai pengingat. Bahwa jabatan bisa selesai, tapi integritas harus tetap tinggal. Dan saya bersyukur, bisa melihat semua itu langsung dari orang yang sejak lama saya hormati.
Dan kalau nanti ada yang bertanya, siapa birokrat yang berani, bersih, dan konsisten menjaga nilai—saya tak ragu menjawab: Jauhar Efendi. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.