Minggu (17/8), saya memilih jalur pesisir pantai untuk pulang dari Samarinda ke Bontang. Ini bukan pengalaman pertama. Beberapa kali saya sudah melintasi jalur Muara Badak–Marangkayu–Bontang Lestari. Terakhir sekitar 8 bulan lalu. Jalurnya relatif lurus, tidak terlalu banyak kelokan dan tanjakan. Tetapi jelas bukan jalur utama. Jalan pesisir melewati kawasan pedesaan di tepian pantai dan sejumlah kecamatan di wilayah Kutai Kartanegara (Kukar).

Sebagai patokan perjalanan, dalam tulisan ini, saya menghitung kilometer dari Tugu Ulin Simpang Badak–Bontang–Samarinda di Desa Tanah Datar, Muara Badak. Pada tugu itu terukir ikon Burung Enggang, satwa khas Kalimantan yang masih dapat dijumpai di Muara Badak meski kini semakin terancam punah. Dari Samarinda, jarak ke tugu ini sekitar 20 kilometer. Jika berbelok ke kanan, kendaraan masuk jalur pesisir Muara Badak, sementara lurus saja berarti tetap di poros utama Samarinda–Bontang.

Beberapa kilometer setelah simpang Muara Badak, jalan masih terasa mulus. Perbaikan beberapa tahun lalu masih bertahan di sebagian titik. Tetapi memasuki kilometer 20 hingga 25, kondisi mulai berubah. Lubang besar muncul, tambalan aspal terkelupas, dan jembatan lama terlihat cepat rusak karena dilalui kendaraan berat.

Masih di Muara Badak, saya sempat berhenti sebentar. Di pinggir jalan ada pedagang kepiting, kerang, dan hasil laut segar. Pemandangan yang kerap saya temui di jalur ini.
Sekitar kilometer 29, perjalanan melintasi Jembatan Sambera di Desa Tanjung Limau. Jembatan ini sempat berkali-kali viral karena rusak parah dan hanya mendapat perbaikan darurat. Kini kondisinya sudah mulus, pasca direhabilitasi dan diresmikan di era Bupati Kukar, Edi Damansyah, pada Februari 2024. Julukan “Jembatan Kobra” pun berganti dengan jembatan yang lebih kokoh dan layak dilalui.

Selepas Sambera, di kilometer 30–35, jalan cukup kontras. Di kiri kanan terbentang deretan pantai dan lokasi wisata yang dikelola warga. Kali ini saya hanya melintas. Tidak singgah. Namun beberapa pantai itu pernah saya kunjungi sebelumnya. Ada Pantai Panrita Lopi dengan lorong cemara yang ikonik dan Pantai Mutiara Indah yang bisa dicapai hanya menggunakan kapal klotok di dermaga ini. Ada pula Pantai Pelangi dengan payung warna-warni di bibir pantainya, serta Pantai Kurma yang unik karena terdapat kebun kurma di sekitarnya.

Tak ketinggalan Pantai Ceria dan Pantai Malabar yang menawarkan gazebo, lorong bakau, dan nuansa alami khas pesisir. Semua pantai itu menarik, meski sayang, kondisi jalan menuju dan di sekitarnya justru banyak yang rusak parah.





Memasuki Marangkayu, tantangan semakin terasa. Mulai kilometer 42, banyak titik yang sudah ditambal tapi rusak lagi. Jalan sempit, dan kerap berhadapan dengan truk sawit dan truk tambang. Di depan SMK Negeri 1 Marangkayu, jalan bergelombang hingga mobil benar-benar bergoyang keras. Ironis, karena titik itu berada tepat di depan fasilitas publik.
Sejak Agustus 2024, jalan utama di Marangkayu ini sudah berstatus jalan provinsi. Kepada wartawan, Camat Marangkayu, Ambo Dalle, menegaskan bahwa hampir semua desa, ada 11 desa di kecamatan ini, selalu mengusulkan peningkatan jalan dan jembatan dalam Musrenbang. “Dulunya jalan kabupaten, sekarang jalan provinsi. Banyak masyarakat bertanya, bagaimana kelanjutannya? Saya bilang, iya, kita sudah perjuangkan, dan sekarang statusnya sudah menjadi jalan provinsi hingga ke Bontang Lestari,” ujarnya. Dikatakannya, keberadaan jalan ini vital mengingat banyak perusahaan tambang dan perkebunan beroperasi di Marangkayu.
Apa yang disampaikan Camat itu persis dengan apa yang saya lihat dan rasakan sepanjang perjalanan. Kendaraan berat membuat jalan cepat rusak. Beton baru sekalipun tak bertahan lama, pecah dan berlubang hanya dalam hitungan bulan. Maka tak heran bila keluhan jalan rusak selalu terulang, meski perbaikan sudah dilakukan berulang kali.
Lepas Marangkayu menuju Santan hingga Bontang Lestari, jalur tetap menantang. Ada tikungan tajam hampir 90 derajat, dan beberapa segmen jalan yang masih dalam proses perbaikan. Kontur tanah labil membuat permukaan cepat retak. Meski begitu, di sepanjang perjalanan terlihat pasar rakyat Marangkayu, warung kecil penjual hasil laut, hingga pantai-pantai sederhana yang kerap jadi tempat singgah warga.
Dari perjalanan terakhir ini, satu hal yang bisa saya simpulkan: bila ingin tiba lebih cepat, sebaiknya jangan lewat jalur ini. Dari segi jarak, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan poros utama. Dari Samarinda hingga Bontang, tepat di simpang RSUD Taman Husada, saya mencatat total 118 kilometer. Selisihnya hanya tipis dengan jalur poros yang berjarak 115 kilometer. Persoalan bukan pada jarak tempuh, melainkan pada kualitas jalan yang masih jauh dari harapan, meski statusnya sudah menjadi jalan provinsi.
Dengan status jalan provinsi, jalur Muara Badak–Marangkayu–Bontang Lestari seharusnya segera mendapat perhatian serius Pemprov Kaltim. Bagi masyarakat pesisir, jalan ini bukan lagi sekadar alternatif, tapi urat nadi utama ekonomi dan kehidupan.
Maka untuk saat ini, jalur ini hanya layak dipilih bila ingin perjalanan santai sambil menikmati pesisir pantai. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.