spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pasar Terapung Lok Baintan yang Masih Bertahan

Sudah lama sekali saya tidak ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Terakhir sekitar tahun 2005. Dua puluh tahun lebih berlalu. Ada satu tempat yang sejak lama ingin saya datangi lagi: Pasar Terapung Lok Baintan. Apakah pasar itu masih hidup seperti dulu, atau sudah berubah oleh waktu?

Selasa pagi (30/12), saya memutuskan kembali ke tempat ini sebelum pulang ke Bontang. Kami berangkat dari Banjarbaru menggunakan mobil pinjaman keluarga, bersama istri dan istri sepupu yang menetap di sana. Pukul 06.00 Wita kami berangkat. Google Maps mengarahkan kami ke kawasan Siring, yang ternyata menjadi dermaga utama wisata susur sungai.

Perjalanan darat memakan waktu sekitar satu jam. Setiba di lokasi, kami langsung menemukan dermaga keberangkatan kapal wisata. Tarifnya Rp50 ribu per orang. Kapal berkapasitas hingga 30 penumpang, namun tidak harus menunggu penuh. Tepat pukul 07.15 WITA, kapal berangkat menyusuri sungai. Arusnya tenang, rumah-rumah panggung berjejer di tepian, dan aktivitas warga mulai terlihat di sepanjang alur sungai.

Baca Juga:   Basuki dan Semangat Membangun IKN Tanpa Henti
⁠Suasana di atas kapal wisata saat susur sungai menuju pasar terapung. Foto: Agus S

Sekitar 50 menit kemudian, kami tiba di titik pasar. Begitu mesin kapal melambat, perahu-perahu kecil langsung mendekat. Pedagang datang dari segala arah. Ada yang membawa buah-buahan, kue tradisional, peyek, hingga kebutuhan harian. Bukan hanya kapal kami yang didatangi, tetapi juga kapal-kapal wisata lain yang sudah lebih dulu tiba atau baru saja merapat. Pasar itu langsung hidup.

⁠Jukung pedagang penuh hasil kebun dan pangan lokal. Foto: Agus S

Pasar Terapung Lok Baintan ternyata masih bertahan. Hingga hari ini, lebih dari 100 pedagang masih turun berjualan di atas sungai. Mereka berangkat dari rumah masing-masing usai salat Subuh, mendayung jukung melawan arus, dengan harapan dagangan laku dan pulang membawa rezeki.

Saya berbincang dengan seorang ibu pedagang yang perahunya merapat ke kapal kami. Tuturnya apa adanya.

“Kalau ramai bisa bawa pulang Rp300 ribu. Tapi kalau sepi, ya kadang pulang tanpa uang sama sekali,” katanya.

⁠Kapal wisata dan pedagang berdampingan di tengah aktivitas pasar. Foto: Agus S

Ia bercerita tentang pasar yang tidak pernah “macet”. Di atas sungai tidak ada klakson, tidak ada kemacetan seperti di darat. Semua bergerak mengikuti arus.

Baca Juga:   Catatan dari FKP RSUD Taman Husada (4) Gedung C: Jawaban atas Parkir Semrawut, Ruang Inap Penuh, dan Tuntutan Layanan Modern

“Di sini kebanyakan pakai perahu, Pak. Jadi nggak macet. Saya sudah jualan dari masih perawan, sampai sekarang anak saya juga sudah perawan,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, Pasar Terapung Lok Baintan bertahan karena warganya adalah penduduk asli. Pasar ini diwariskan lintas generasi. Bukan sekadar tempat jual beli, tetapi ruang hidup yang menyatu dengan sungai. Dagangan mereka beragam—buah, sayur, ikan, sembako, tas, kopi, teh, soto, hingga pakaian. “Yang nggak ada di sini itu cuma HP sama emas,” katanya, masih sambil tertawa.

Ia juga menyinggung pasar terapung lain yang perlahan menghilang karena warganya tidak terbiasa hidup di sungai dan memilih cara yang lebih praktis. Lok Baintan berbeda. Sungai adalah rumah mereka.

Selain transaksi jual beli, suasana pasar pagi itu juga diwarnai aktivitas wisata. Beberapa pedagang menawarkan jasa naik klotok kecil untuk berfoto dan berkeliling di antara perahu-perahu. Kamera ponsel terus terangkat. Senyum, tawar-menawar, dan percakapan sederhana mengisi pagi.

Saya memperhatikan kesibukan jual beli di atas perahu-perahu itu. Sesekali menoleh ke arus sungai yang tak pernah berhenti. Sempat terlintas rasa khawatir, takut dagangan terbalik atau perahu bersenggolan.

Baca Juga:   Backpaker Murah Bali–Singapura–Malaysia (1): Antara Doa, Desa Penglipuran hingga Langit Senja Kuta
⁠Menyusuri Sungai Martapura menuju Pasar Terapung Lok Baintan. Foto: Agus S

Namun kekhawatiran itu cepat hilang. Meski usia pedagang rata-rata di atas 40 tahun, mereka lincah mengendalikan jukung, berpindah dari buritan ke haluan dengan keseimbangan yang terlatih oleh waktu.

Dua puluh tahun berlalu, pasar ini masih bertahan. Bukan karena promosi atau viral, tetapi karena tradisi yang dijaga dan kehidupan yang terus dijalani.

Pasar Terapung Lok Baintan bukan hanya destinasi wisata. Pasar ini menjadi ruang hidup yang mengajarkan bahwa sungai bukan sekadar alur air, melainkan nadi yang menghidupi, dan selama nadi itu dijaga, cerita ini akan terus berjalan. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img