spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pahitnya Menang Lelang Negara (7): Gugatan Ditolak PN Balikpapan, Tanpa Itikad Baik, Eksekusi Paksa Jalan Terakhir

Setelah melalui proses persidangan yang panjang hampir sembilan bulan, Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan akhirnya menjatuhkan putusan dalam perkara perdata Nomor 91/Pdt.G/2025/PN.Bpp pada 11 Desember 2025. Putusan itu tegas dan tidak menyisakan ruang tafsir: gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO).

Putusan tersebut berarti tidak ada pembatalan lelang, tidak ada pembatalan kepemilikan, dan tidak ada satu pun amar yang menyatakan risalah lelang negara menjadi tidak sah. Dengan kata lain, pelaksanaan lelang oleh negara melalui KPKNL Balikpapan dinyatakan sah, dan status saya sebagai pemenang lelang tetap dilindungi hukum.

Majelis Hakim menilai gugatan Penggugat sejak awal cacat secara formil. Dalil-dalil yang diajukan dinyatakan kabur dan tidak jelas karena mencampuradukkan persoalan wanprestasi dengan tuduhan perbuatan melawan hukum, serta menyerang proses lelang tanpa dasar hukum yang kuat. Atas dasar itu, Majelis menyatakan gugatan tidak layak untuk diperiksa lebih lanjut. Putusan ini sekaligus menutup seluruh keberatan hukum yang selama ini diarahkan kepada lelang dan kepemilikan objek.

Namun, seperti yang kerap terjadi dalam banyak perkara lelang negara, kepastian hukum di atas kertas belum serta-merta diikuti kepatuhan di lapangan.

Hingga hari ini, rumah yang saya beli secara sah melalui lelang negara masih dikuasai oleh Penggugat. Fakta ini bahkan telah terungkap secara terang di dalam persidangan. Dalam pemeriksaan setempat (descente) yang dilakukan Majelis Hakim pada 10 Oktober 2025, Penggugat secara langsung mengakui bahwa dirinya masih menempati objek rumah tersebut. Pengakuan itu tercatat dalam berita acara pemeriksaan setempat dan menjadi bagian penting dari fakta persidangan.

Artinya, sebelum putusan dibacakan pun, kondisi penguasaan tanpa hak sudah diketahui dan tidak terbantahkan.

Baca Juga:   Kaltim Butuh Lebih Banyak Wakil Seperti Hetifah

Sebagai pihak yang dinyatakan sah secara hukum, sebenarnya saya memiliki dasar untuk segera menempuh langkah eksekusi. Namun setelah putusan dibacakan, saya memilih untuk tetap mengedepankan itikad baik. Pada hari yang sama, saya menyampaikan pemberitahuan resmi kepada kuasa hukum Penggugat bahwa putusan telah keluar dan tidak ada lagi sengketa hukum atas objek tersebut. Saya memberi waktu hingga Minggu, 15 Desember 2025, agar rumah diserahkan secara sukarela.

Pesan tersebut diterima dan dijawab singkat: akan disampaikan kepada klien. Saya menunggu dengan harapan ada penyelesaian baik-baik. Namun hingga Selasa, 17 Desember 2025, tidak ada kabar lanjutan. Tidak ada penyerahan objek. Rumah tetap dikuasai, seolah putusan pengadilan tidak pernah ada.

Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima bukanlah putusan setengah-setengah. Putusan tersebut menegaskan bahwa gugatan Penggugat tidak memiliki dasar hukum sejak awal. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan hukum untuk menahan atau terus menguasai objek yang secara sah telah berpindah kepemilikan.

KUASA HUKUM BJB: PENGUASAAN TANPA HAK JADI PIDANA

Pandangan ini sejalan dengan penilaian Budi Hartawan Ritonga, S.H., M.H., kuasa hukum Bank BJB selaku pemegang hak tanggungan. Menurut Ritonga, Majelis Hakim telah melakukan pertimbangan hukum secara menyeluruh dan komprehensif, mulai dari hubungan kredit, wanprestasi debitur, hingga proses pelelangan dan penetapan pemenang lelang.

Budi Hartawan Ritonga, S.H., M.H., kuasa hukum Bank BJB

“Kami sangat mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan yang memutus perkara ini tidak dapat diterima. Kami berpandangan Majelis telah mempertimbangkan secara utuh, mulai dari bukti-bukti awal, proses pelelangan, hingga penetapan pemenang lelang terhadap objek tereksekusi,” ujar Ritonga.

Baca Juga:   Tiga Jam Bersama Jauhar Efendi: Cerita Media, Tarik Ratusan Mobil Dinas, hingga Integritas

Ia menegaskan bahwa status objek tereksekusi yang telah dilelang dan dimenangkan pemenang lelang adalah sah, karena seluruh prosedur telah dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya putusan ini, keberatan hukum atas lelang dan kepemilikan objek sejatinya telah berakhir di meja hijau.

Ritonga juga menyoroti kondisi di lapangan, di mana objek yang telah dimenangkan melalui lelang masih dikuasai pihak yang kalah di pengadilan. Menurutnya, penguasaan semacam itu tidak dapat dibenarkan secara hukum.

“Jika sudah ada pemenang lelang, maka pemenang lelang itulah yang memiliki hak untuk menguasai objek sebagaimana tercantum dalam risalah lelang. Apabila masih ada pihak yang menempati objek tersebut, maka itu merupakan perbuatan melawan hukum,” tegasnya.

Lebih jauh, Ritonga mengingatkan bahwa penguasaan tanpa hak tidak selalu berhenti pada ranah perdata. Dalam kondisi tertentu, perbuatan tersebut berpotensi masuk ke ranah pidana, khususnya terkait Pasal 167 ayat (1) KUHP tentang memasuki atau tetap berada di pekarangan orang lain secara melawan hukum, sekaligus membuka ruang gugatan perdata lanjutan atas dasar perbuatan melawan hukum karena menimbulkan kerugian.

“Bahkan seharusnya negara memberikan kewenangan yang tegas untuk mengeluarkan secara paksa apabila debitur telah wanprestasi dan objek telah dieksekusi melalui lelang,” lanjut Ritonga.

Dalam konteks administrasi pertanahan, Ritonga juga menegaskan pentingnya membedakan antara proses administratif dan sengketa hukum. Menurutnya, balik nama sertipikat merupakan proses administratif di Kantor Pertanahan yang pada prinsipnya tetap dapat berjalan selama syarat formil terpenuhi.

“Kita harus memahami perbedaan antara proses administratif dan sengketa hukum. Balik nama sertipikat adalah proses administratif di BPN. Sepanjang syarat formal terpenuhi, BPN pada umumnya tetap dapat memproses permohonan, meskipun masih ada potensi upaya hukum lanjutan,” jelasnya.

Baca Juga:   Balai Kota Samarinda, Wajah Baru dengan Anggaran Rp100 Miliar

Ia menambahkan, potensi banding tidak serta-merta menghentikan proses administrasi. Risiko hukum tetap ada dan dapat diuji kemudian, namun hal tersebut tidak menghapus fakta bahwa pemenang lelang telah memperoleh haknya secara sah berdasarkan risalah lelang dan putusan pengadilan yang ada.

Sejalan dengan pandangan tersebut, saya juga telah menempuh jalur pidana atas penguasaan objek tanpa hak ini. Laporan telah disampaikan dan hingga saat ini proses penyelidikan di Polda Kaltim masih berjalan.
Jalur pidana ini saya tempuh bukan sebagai tekanan, melainkan sebagai bagian dari upaya memastikan bahwa putusan pengadilan tidak berhenti sebagai dokumen formal tanpa daya paksa.

Karena hingga batas waktu yang telah diberikan tidak ada penyerahan sukarela, maka langkah berikutnya adalah permohonan eksekusi pengosongan. Langkah ini bukan pilihan emosional, melainkan konsekuensi hukum dari putusan yang telah dibacakan dan harus dihormati oleh semua pihak.

Pada tahap selanjutnya, saya juga akan melanjutkan proses administrasi pertanahan, termasuk pengurusan balik nama sertipikat ke Kantor Pertanahan, sebagai bagian dari pemenuhan hak saya selaku pemenang lelang yang sah.

Proses administratif ini berdiri sendiri dan tidak menghapus kewajiban pihak yang masih menguasai objek untuk tunduk pada putusan pengadilan.

Putusan sudah jelas. Kesempatan telah diberikan. Ketika itikad baik tidak ditunjukkan, maka eksekusi paksa menjadi jalan terakhir agar hukum tidak kehilangan wibawanya. (bersambung)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img