TULISAN tentang Jalan Poros Samarinda–Bontang ini bukan catatan baru. Saya pernah menuliskannya Agustus lalu. Dari pengalaman bertahun-tahun melintasi jalur ini sejak 2010.
Saat itu, saya sudah mencatat kerusakan yang terus berulang, titik-titik rawan kecelakaan, serta perbaikan yang hampir selalu sifatnya sementara.
Hari ini saya menuliskannya lagi. Sebab, kondisinya ternyata tidak membaik, justru makin parah. Terutama di Km 15 dari arah Bontang menuju Samarinda.
Hampir tiap pekan saya melintasi ruas ini. Antrean kendaraan hampir selalu terjadi di titik ini. Truk-truk besar kerap berhenti saling berhadapan, sedangkan para sopir menunggu celah aman untuk bergerak satu per satu.
Siang ini (21/12), gambaran yang sama kembali saya lihat lewat kiriman video dari ketua BKL Perum BSD Bontang, Supriyadi, yang baru saja melintas. Antrean memanjang, jalan berlumpur, dan kendaraan harus bergantian melaju dengan jarak sangat sempit.
Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini bahkan dimanfaatkan anak-anak turun ke titik jalan rusak itu. Seolah mengatur lalu lintas, dengan harapan mendapat uang dari pengendara.
Apa yang saya tulis berbulan-bulan lalu kini terbukti. Tingkat kerusakannya semakin berat.
Harapan warga tentu ingin jalan ini segera ditangani serius oleh Pemprov Kaltim. Namun yang tampak justru sebaliknya.
Tambal sulam memang ada, tetapi sering kali bukan di bagian paling rusak. Lubang-lubang besar di Km 15 masih dibiarkan, dan kondisinya makin parah ketika hujan turun. Praktis, jalan ini berubah menjadi jalur berisiko tinggi. Bukan hanya karena macet, tetapi juga karena rawan kecelakaan.
Ruas ini sudah lama mencatat korban. Pengendara motor terperosok lubang, kendaraan bertabrakan karena saling menghindar, hingga truk besar kehilangan kendali di permukaan jalan yang licin. Ini sudah menyangkut keselamatan.
Saya masih ingat janji kampanye Rudy Mas’ud yang menyebut jalan trans provinsi Samarinda–Bontang perlu ditingkatkan kualitasnya. Bahkan diwacanakan menjadi dua jalur demi keamanan, mengingat padatnya lalu lintas truk besar.
“Kalau tidak ada halangan, kami akan buatkan dua jalur dari Samarinda ke Bontang agar aksesnya lebih gampang dan lebih aman, karena jalur ini kerap dilalui truk-truk besar,” janji Rudy Mas’ud saat itu. Janji itu dicatat publik, termasuk warga yang setiap hari bergantung pada jalur ini.
Kini waktu berjalan. Tidak perlu dua jalur dulu. Mulus saja sudah cukup. Jalan ini menghubungkan Berau, Sangatta, Bontang, Samarinda, hingga Balikpapan dan Kutai Kartanegara. Sebab jalan ini sangat vital sebagai lalu lintas ekonomi, logistik, pendidikan, dan aktivitas harian ribuan warga.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi mengingatkan. Bahwa persoalan ini sudah lama, sudah sering disuarakan, dan masih dibiarkan berulang.
Pemprov memiliki peran koordinatif, balai jalan memegang mandat teknis. Bukankah para pejabat provinsi juga kerap melintas di jalur ini? Apalagi pejabat Pemkot Bontang dan Pemkab Kutai Timur.
Yang dibutuhkan adalah perbaikan menyeluruh di titik-titik kritis. Pembenahan struktur dasar jalan, drainase yang benar-benar berfungsi, serta pengaturan lalu lintas selama pekerjaan berlangsung—bukan perbaikan sementara.
Setiap kali hujan turun, antrean itu kembali terlihat. Kendaraan merayap. Orang-orang melintas dengan sangat hati-hati. Km 15 sudah memberi sinyal keras. Tinggal apakah kita memilih mendengar dan bertindak sekarang, atau kembali menunggu sampai kerusakan ini memakan korban berikutnya. Jangan lagi berlindung di balik alasan akhir tahun, anggaran habis, dan menunggu tahun depan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.




