BALIKPAPAN – Ditengah panasnya aspal jalanan dan lalu lintas yang kadang tidak ramah, tiga orang pria berdiri tegak di atas roda dua mereka. Mereka bukan sekadar pengantar pesanan atau penumpang.Mereka adalah tulang punggung keluarga, pejuang ekonomi, dan saksi hidup bagaimana teknologi membuka peluang ketika pintu-pintu lain tertutup.
Pria kelahiran Balikpapan, Rudi (38) masih ingat betul hari ketika ia kehilangan pekerjaan tetapnya di sebuah perusahaan tambang. Dengan dua anak yang masih sekolah dan cicilan rumah yang belum lunas, ia melamar ke lebih dari lima perusahaan. Semuanya menolak karena usia dan latarbelakang pendidikan.
“Rasanya malu, tapi saya harus tetap jalan. Waktu itu saya coba daftar Ojol, dan dalam seminggu langsung aktif,” ujarnya.
Rudi kini bekerja setiap hari dari pagi hingga sore. Ia bersyukur, karena bisa menyekolahkan anak sulungnya ke SMK favorit di Kota Balikpapan. Baginya, menjadi mitra Ojol bukan sekadar cari uang, tapi bentuk syukur dan perjuangan untuk keluarganya.
“Itu pertama kali saya merasa dianggap lagi sebagai orang yang mampu,” tambahnya.
Setiap hari Rudi berangkat sekitar pukul 06.00 Wita dan pulang sekitar pukul 17.30 Wita dengan menghasilkan pendapatan bersih kisaran Rp 240- Rp 310 ribu.
“Saya tahu kerjaan ini capek, kadang hujan, kadang panas. Tapi saya merasa dihargai. Ada penghasilan, ada bonus dan saya nggak perlu nunggu-nunggu panggilan kerja yang belum tentu datang,” tegasnya.
Menjadi Ojol adalah sebuah batu loncatan bagi Arman (32). Ia bergabung sebagai driver Ojol setelah istrinya mengalami keguguran akibat tekanan ekonomi. Ia dulu bekerja serabutan, mulai jadi buruh pasar sampai satpam. Namun tidak ada yang menawarkan pendapatan pasti.
“Saya daftar Ojol karena lihat tetangga bisa bawa pulang uang tiap hari. Nggak kaya, tapi cukup buat makan dan cicilan motor,” ujarnya.
Sekarang, Arman adalah satu-satunya tulang punggung keluarga. Setiap harinya ia mengantar makanan dan penumpang dengan satu tekad, yaitu tidak ingin ibu dan istrinya melihat dia menyerah.
“Saya ingin mereka bangga. Mungkin saya tidak kerja kantoran, tapi saya kerja jujur dan halal,” jelasnya.
Beda cerita dengan Dede (29), ia berasal dari Kota Samarinda. Sebelum menjadi ojol, ia adalah tukang ojek pangkalan yang penghasilannya tak menentu. Kadang sehari hanya bawa pulang Rp 30.000 saja.
“Saya nggak punya ijazah SMA. Siapa juga yang mau terima saya kerja di kantor?,” ujarnya sambil tersenyum.
Dengan sistem aplikasi ojolnya yang memungkinkan dia menawar tarif langsung dengan penumpang, Dede merasa lebih fleksibel. Ia bisa mengatur waktu dan menyisihkan uang untuk masa depan.
“Bulan lalu saya beli motor sendiri. Kredit sih, tapi atas nama saya. Buat saya itu pencapaian besar,” ujarnya dibawah terik matahari panas.
Ketiganya berbeda aplikasi, berbeda cerita, tapi punya satu benang merah, yaitu mereka bersyukur atas peluang yang mereka miliki hari ini. Di tengah stigma, tekanan dan tuntutan, para driver ini membuktikan bahwa pekerjaan apa pun bisa jadi sumber harga diri, asal dilakukan dengan hati.
Beberapa waktu lalu Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji menyuarakan aspirasi ojol lewat tuntutannya untuk menghapuskan program promo berbayar, mitra jarak dekat hingga tarif aplikator yang masih dibawah regulasi, seolah tak menggubris, ketiganya berharap perubahan ini tidak semakin mempersulit masyarakat yang biasa mengandalkan mereka sehari-hari.
Penulis: Aprianto