SUASANA ruang pertemuan Hotel Fugo Samarinda, Sabtu (11/10) sore masih terasa hidup ketika sesi terakhir Dialog “Masa Depan Pers Kalimantan Timur: Kebebasan, Etika, Bisnis Berkelanjutan, dan Publisher Rights” memasuki pembahasan penutup.
Setelah dua narasumber sebelumnya mengulas etika dan inovasi media, giliran Wakil Ketua Umum Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Suhendro Boroma, memberikan pandangan strategis tentang arah industri pers nasional.
Berbicara di hadapan peserta Musdalub SPS Kaltim 2025, Suhendro menegaskan bahwa verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers merupakan langkah mendasar dalam membangun ekosistem media yang kredibel dan sehat. “Saya sangat mendukung percepatan verifikasi. SPS Kaltim bisa langsung berkoordinasi dengan pengurus pusat agar prosesnya di Dewan Pers bisa dipercepat,” katanya.
Suhendro menjelaskan, sistem verifikasi saat ini memang jauh lebih ketat dibanding beberapa tahun lalu. Kini, hanya tim resmi Dewan Pers yang berwenang melakukan verifikasi, sementara organisasi konstituen seperti SPS, SMSI, AMSI, dan JMSI tidak lagi memiliki kewenangan langsung. Langkah ini, katanya, dilakukan untuk menjaga integritas data dan memastikan media benar-benar memenuhi standar hukum, kesejahteraan karyawan, serta etika profesi.
Ia kemudian menyinggung Deklarasi Palembang 2014, momen penting yang melahirkan dua instrumen dasar bagi industri pers Indonesia: uji kompetensi wartawan dan verifikasi perusahaan pers. “Itu kesepakatan besar antara para pemilik media nasional — Kompas, Jawa Pos, dan grup-grup besar lainnya. Tujuannya agar jurnalis dan perusahaannya sama-sama berstandar tinggi, tidak asal terbit,” jelasnya.
Namun perhatian utama Suhendro dalam forum kali ini tertuju pada Publisher Rights, yang ia sebut sebagai tonggak baru kedaulatan digital bagi media Indonesia.

(Foto: Istimwa)
Ia menjelaskan, melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024, pemerintah sebenarnya telah memberi dasar hukum agar raksasa digital seperti Google dan Meta membayar kompensasi kepada media lokal atas pemanfaatan konten berita.
“Negara lain sudah jauh lebih maju. Di Australia, Google membayar sekitar 200 juta dolar AS per tahun kepada media. Kanada bahkan mencapai 100 juta. Tapi di Indonesia, karena masih level Perpres, belum bisa diberlakukan sanksi. Harus naik jadi undang-undang,” tegasnya.
Suhendro menekankan bahwa Publisher Rights bukan semata soal uang, tetapi soal keadilan bagi media nasional dan lokal yang setiap hari membayar pajak serta menggaji wartawan. “Sekarang 75 persen belanja iklan di Indonesia, sekitar Rp105 triliun per tahun, justru lari ke platform global. Sementara media di dalam negeri megap-megap menjaga idealisme sambil tetap taat pajak,” bebernya.
Ia juga mengingatkan bahwa media yang belum terverifikasi tidak akan mendapatkan hak distribusi dan kompensasi dari mekanisme Publisher Rights. “Kalau belum terverifikasi, tidak akan masuk dalam daftar resmi. Jadi verifikasi itu bukan sekadar administrasi, tapi pintu masuk agar media daerah bisa ikut menikmati kue digital secara adil,” katanya.
Suhendro turut menyoroti perilaku sejumlah lembaga pemerintah dan BUMN yang masih menyalurkan belanja iklan ke platform asing ketimbang media nasional. “Padahal sudah ada imbauan agar iklan pemerintah diarahkan ke media nasional dan lokal. Kalau semua diserahkan ke Google dan Meta, media kita tinggal menunggu waktu,” ucapnya.
Meski begitu, ia memberikan apresiasi kepada Pemprov Kaltim serta sejumlah Pemkot dan Pemkab se-Kaltim yang dinilainya masih memiliki kepedulian tinggi terhadap ekosistem pers daerah. “Saya mengelola media di banyak provinsi. Kaltim termasuk yang paling sehat hubungan antara pemerintah dan medianya. Itu perlu dijaga dan ditingkatkan,” tuturnya.
Menutup paparannya, Suhendro menegaskan pentingnya solidaritas dan inovasi bersama di tubuh SPS agar organisasi ini benar-benar menjadi wadah yang adaptif terhadap perubahan. “Jangan menunggu regulasi, kita harus bergerak dulu. Media yang punya integritas dan inovasi pasti bertahan. Publisher Rights hanyalah pintu, tapi etika dan profesionalisme adalah kuncinya,” pungkasnya.
Dialog ditutup oleh moderator Sugito, setelah beberapa peserta menyampaikan pertanyaan dan tanggapan atas paparan para narasumber. Dalam kesimpulannya, Sugito menegaskan bahwa Publisher Rights tidak hanya dimaknai sebagai kebijakan hukum, tetapi harus diterjemahkan menjadi langkah nyata untuk mewujudkan bisnis media yang berkelanjutan.
Ia mengatakan, SPS ke depan perlu menjadi wadah yang mendorong kreativitas dan inovasi agar media anggota dapat memperoleh pendapatan dengan cara yang sehat dan profesional. “Kerja-kerja kita harus berorientasi pada bisnis berkelanjutan, berlandaskan verifikasi administrasi dan faktual,” ujarnya.
Sugito juga mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan pers, etika, dan keberlanjutan ekonomi. Menurutnya, media harus membangun trust atau kepercayaan publik melalui berita yang akurat dan berimbang, karena kepercayaan merupakan modal utama dalam membangun kerja sama dan kemitraan.
Dikatakannya, tantangan media saat ini bukan hanya hoaks, tetapi juga fenomena informasi yang diglorifikasi secara berulang hingga tampak seperti kebenaran. “Itu yang berbahaya. Informasi salah yang terus disebarluaskan akhirnya dipercaya publik. Di sinilah peran media berkualitas dibutuhkan,” kata Sugito.
Sebagai penutup, ia mengajak seluruh peserta dan pengurus SPS Kaltim untuk terus memperkuat kolaborasi dengan pemerintah daerah serta membangun sistem kerja yang kreatif dan transparan. “Keterbatasan anggaran bukan alasan berhenti berinovasi. Justru dari kreativitas dan kepercayaan publik, media bisa bertahan dan tumbuh,” tutupnya. (Habis)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.