SAYA masih ingat peristiwa di Kaltim beberapa waktu lalu. Seorang ajudan Gubernur Kaltim sempat menghalangi wartawan yang hanya ingin menjalankan tugasnya: mengajukan pertanyaan di luar konteks acara.
Banyak yang menganggap insiden itu sepele atau hanya salah paham di lapangan. Padahal ini tak bisa diremehkan. Menunjukkan relasi antara penguasa dan pers kian renggang. Apa yang kini terjadi di Jakarta, ketika Biro Pers Sekretariat Presiden mencabut kartu liputan wartawan CNN Indonesia, semakin mempertegas kekhawatiran itu.
Nama jurnalis itu Diana Valencia. Kartu identitas liputannya di Istana dicabut setelah ia menyampaikan konfirmasi kepada Presiden Prabowo Subianto soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah jadi sorotan, bahkan dikaitkan dengan kasus keracunan massal pelajar.
Konfirmasi yang wajar. Relevan, dan mewakili keresahan publik. Namun bukan jawaban yang ia peroleh, melainkan pencabutan akses liputan. Pada 27 September 2025 malam, petugas Biro Pers bahkan mendatangi kantor CNN untuk mengambil langsung kartu identitas tersebut.
CNN Indonesia tentu bereaksi. Mereka melayangkan surat resmi ke Biro Pers dan Menteri Sekretaris Negara, meminta klarifikasi dan dasar hukum pencabutan. Namun yang muncul hanya alasan “keberatan” atas konfirmasi itu.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sekadar menyebut akan mencari “jalan keluar terbaik.” Jalan keluar macam apa? Dalam demokrasi, hak pers tidak bisa diperlakukan sebagai kebijakan selera.

Dewan Pers pun angkat suara. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, mengingatkan, Biro Pers Istana sebaiknya memberikan penjelasan agar tindakan tersebut tidak menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik. “Semua pihak wajib tunduk pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” tegasnya.
Lebih keras lagi, anggota Dewan Pers, Abdul Manan, menyebut pencabutan itu sebagai pelanggaran kebebasan pers.
Nada serupa datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyatakan keprihatinan dan mengingatkan pentingnya menjaga kebebasan pers sebagai fondasi demokrasi.
Forum Pemimpin Redaksi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kaltim ikut mengecam. Ketua Forum Pimred SMSI Kaltim, Endro S. Efendi, menyebut, tindakan tersebut merupakan preseden buruk bagi iklim kebebasan pers di Indonesia dan tidak sepatutnya terjadi di era demokrasi saat ini.
Intinya, jika ada keberatan, salurannya adalah hak jawab, koreksi, atau Dewan Pers. Bukan pencabutan akses.
Saya melihat, persoalan ini jauh lebih besar dari sekadar satu kartu liputan. Ini menyangkut logika bernegara. Apakah penguasa siap diuji secara terbuka, atau justru menyaring konfirmasi agar hanya suara yang nyaman didengar yang diberi ruang?
Hari ini yang dicabut kartu wartawan CNN, besok bisa siapa saja, termasuk jurnalis lokal di daerah yang berani kritis.
Karena itu saya mengingatkan para kepala daerah di Kaltim: jangan mengulangi kesalahan serupa. Jangan biarkan ajudan, staf, atau siapa pun merasa lebih berkuasa dari Undang-undang.
Setiap wartawan yang mengajukan konfirmasi, betapapun kerasnya, sedang menjalankan fungsi publik. Menghalanginya sama saja memutus hak masyarakat untuk tahu.
Kebebasan pers bukan milik wartawan semata, tapi milik rakyat. Jika ada keberatan, mekanismenya jelas: hak jawab, koreksi, atau pengaduan ke Dewan Pers. Bukan tindakan represif yang menjadikan ruang publik seolah milik segelintir pejabat.
Pers adalah pilar demokrasi, bukan pengganggu kenyamanan. Menjaga kebebasan pers sama artinya dengan menjaga kewarasan bangsa. Dan bila penguasa merasa terusik oleh konfirmasi, yang perlu dikoreksi bukan wartawannya—melainkan sikap penguasanya. (*)
Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.