September ini, hampir setiap pekan saya menempuh perjalanan dari Bontang menuju Samarinda, kadang berlanjut hingga Balikpapan. Namun perjalanan Selasa (23/9/2025) berbeda. Bukan soal jarak atau agenda, melainkan karena saya dan ribuan pengguna jalan terjebak macet berjam-jam di Gunung Hantu, kilometer 27.
Sejak pukul empat dini hari, sebuah trailer bermuatan mesin berat tergelincir dan melintang menutup badan jalan. Kendaraan kecil sempat bisa melintas perlahan di sisi jalan, tetapi situasi berubah ketika truk lain mencoba memaksakan diri melewati jalur sempit yang tersisa.
Truk itu ikut terjebak, membuat jalur benar-benar tertutup. Dari siaran langsung sopir di TikTok, kondisi tersebut sudah ramai sejak pagi. Karena itu saya menunda keberangkatan hingga siang, berharap evakuasi segera selesai. Tetapi proses yang mestinya rampung dalam hitungan jam justru molor hingga malam.
Alat berat yang diturunkan hanya bisa menyingkirkan sebagian hambatan, sementara trailer bermuatan besar tetap tak tergeser. Sopir yang kehilangan kesabaran nekat mengambil jalur berlawanan, justru menambah semrawut. Polisi memang ada di lokasi, tetapi tak cukup sigap mengendalikan arus yang kacau. Padahal kecelakaan tunggal ini sudah berlangsung sejak dini hari.

Sepanjang menunggu, saya melihat langsung bagaimana wajah jalan nasional kita. Deretan kendaraan mengular tanpa kepastian. Klakson bersahutan, sopir keluar-masuk kendaraan, sementara lampu hazard menyala di bawah teriknya matahari. Truk-truk besar berhenti di tanjakan, roda-rodanya menutup hampir seluruh badan jalan, membuat kendaraan kecil sulit mencari celah. Beberapa meter sebelum titik kemacetan, jalan berlubang dan tambalan aspal yang mengelupas.
Peristiwa seperti ini bukan baru sekali terjadi. Gunung Hantu sejak lama dikenal sebagai titik rawan. Jalurnya menanjak, tikungan curam, ditambah kondisi permukaan jalan yang tidak rata.
Dalam lima tahun terakhir, tidak sedikit korban jiwa melayang di poros Bontang–Samarinda akibat tabrakan beruntun maupun kendaraan yang tergelincir. Dulu Gunung Menangis juga sering menelan korban, hingga akhirnya diperbaiki serius beberapa tahun lalu. Setelah itu, risiko berkurang. Bukti bahwa jika ditangani dengan sungguh-sungguh, jalur berbahaya bisa diubah menjadi lebih aman.
Sayangnya, pola yang sama tidak diterapkan di titik rawan lain. Akibatnya, setiap kali ada kecelakaan, jalur utama langsung lumpuh. Alternatif memang ada melalui pesisir Muara Badak–Marangkayu–Bontang Lestari, tetapi kualitas jalannya jauh dari layak.

Beberapa segmen memang sudah dicor, tapi banyak yang kembali rusak. Jembatan tua hanya diperbaiki darurat, dan kendaraan berat membuat beton cepat pecah. Dari sisi jarak, jalur ini tidak berbeda jauh dari poros utama, tetapi kenyamanan dan keamanannya masih jauh tertinggal.
Inilah mengapa kemacetan di Gunung Hantu seharusnya jadi peringatan keras. Pemerintah tidak bisa hanya menunggu pembangunan tol Samarinda–Bontang yang baru direncanakan 2028. Jalur alternatif harus segera ditangani, apalagi statusnya sudah menjadi jalan provinsi. Itu artinya tanggung jawab ada di pundak Pemprov Kaltim. Sementara poros utama, yang setiap hari menjadi urat nadi masyarakat, perlu dirawat serius, bukan sekadar tambal sulam.
Satu kecelakaan seharusnya tidak membuat ribuan orang terjebak berjam-jam. Polisi harus lebih sigap mengurai arus sejak awal, dan pemerintah harus memastikan jalur alternatif siap digunakan. Tol memang rencana jangka panjang, tapi yang dibutuhkan warga sekarang adalah kepastian jalan yang ada benar-benar layak dilalui. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.