MASIH dalam forum Dialog “Masa Depan Pers Kalimantan Timur: Kebebasan, Etika, Bisnis Berkelanjutan, dan Publisher Rights” di Hotel Fugo Samarinda, Sabtu (11/10), giliran Kepala Dinas Kominfo Kaltim, HM Faisal, memaparkan pandangannya.
Dikenal dengan gaya bicara santai dan terbuka, Faisal membuka sesinya dengan candaan ringan yang langsung mencairkan suasana. “Saya sudah dua, Alhamdulillah istri masih satu,” ujarnya disambut tawa peserta.
Namun di balik guyon itu, Faisal menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap merosotnya etika komunikasi publik di ruang digital. Ia menyoroti derasnya arus viral di media sosial yang sering kali berisi bahasa kasar, provokatif, bahkan merendahkan martabat. “Coba lihat bahasanya sekarang, gila-gilaan. Ada yang jorok, ada yang nggak jelas, dan banyak ditulis oleh akun anonim. Kita mau marah pun bingung, karena penulisnya nggak kompeten dan medianya juga tak jelas,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi alarm bagi insan pers dan lembaga komunikasi pemerintah untuk bersama-sama memulihkan etika ruang publik digital. Faisal mengaku telah berdiskusi dengan sejumlah pimpinan redaksi untuk menginisiasi gerakan bersama membangun kembali kesadaran etika penulisan dan penyebaran informasi. “Kalau perlu kita bikin gerakan literasi media tentang bahasa dan etika. Supaya publik sadar, viral itu tidak selalu benar,” tegasnya.
Setelah membahas etika, Faisal beralih ke topik kebijakan anggaran dan verifikasi media. Ia menjelaskan bahwa selama dua tahun terakhir, Diskominfo Kaltim menahan kerja sama dengan media nasional agar anggaran daerah dapat lebih dulu diperuntukkan bagi media lokal yang sedang berproses menuju verifikasi Dewan Pers. “Saya tahan dulu supaya teman-teman lokal bisa melengkapi diri. Mulai tahun ketiga baru saya buka lagi untuk nasional,” jelasnya.
Faisal menegaskan bahwa mulai 2024, verifikasi Dewan Pers menjadi harga mati untuk bekerja sama dengan Pemprov Kaltim. Meski demikian, ia masih memberi ruang bagi media yang dalam proses menuju verifikasi administratif. “Saya masih toleran untuk yang berproses. Tapi dua tahun ke depan, semua harus tuntas,” katanya.
Dalam pandangannya, media seharusnya mengikuti hukum pasar: kualitas menentukan nilai. Ia menggambarkan dengan perumpamaan sederhana, “Kalau tas branded harganya mahal karena kualitasnya bagus, ya media juga begitu. Kalau pembacanya banyak, trafiknya kuat, wajarlah dapat porsi lebih. Tapi kalau pengunjungnya sedikit, ya harus tahu diri,” ujarnya.

Faisal juga menyinggung kondisi keuangan daerah yang mulai tertekan akibat pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat. Menurutnya, Pemprov Kaltim kini dipaksa berhemat di semua sektor, termasuk komunikasi publik.
“Kalau DBH terus dipotong, imbasnya ke mana-mana. Mungkin nanti gaji saya juga ikut berkurang,” ujarnya setengah berkelakar. “Tapi yang jelas, kondisi ini memaksa semua pihak untuk efisien, termasuk media,” sambungnya.
Dari situ, Faisal menekankan pentingnya inovasi dan adaptasi dalam bisnis media. Ia mencontohkan beberapa model efisiensi kreatif yang ditemuinya di berbagai daerah, mulai dari radio yang tetap eksis dengan konsep siaran bergerak hingga studio podcast sewaan yang efisien dan berorientasi hasil.
Ia bercerita tentang sebuah stasiun radio di Bandung yang keluar dari studio konvensional dan menyiarkan langsung dari mobil van yang berkeliling ke pusat keramaian. Mobil itu dipasangi branding sponsor dan disertai tim promosi di lapangan. “Mereka siaran, jualan, dan branding sekaligus. Itu efisiensi sekaligus inovasi,” katanya.
Faisal juga menuturkan pengalamannya berkunjung ke kantor Icon Plus di Jakarta, anak perusahaan PLN yang menyewakan studio podcast profesional di dalam pusat perbelanjaan. “Saya pikir diajak ke kantor, ternyata ke mall. Begitu masuk, ada ruang-ruang kecil seperti karaoke room tapi disulap jadi studio podcast. Kita tinggal datang, rekam, dan langsung dikasih hasilnya dalam flashdisk. Selesai satu jam, efisien sekali,” ceritanya.
Dari pengalamannya itu, Faisal menyimpulkan bahwa inovasi adalah satu-satunya jalan agar media bertahan di tengah tekanan ekonomi digital. Ia mengajak media lokal untuk tidak bergantung sepenuhnya pada dana pemerintah, melainkan berani berkreasi dan memperluas model bisnisnya. “Kalau radio bisa hidup lagi karena inovasi, kenapa media siber tidak bisa? Kita harus berani mencoba,” ujarnya.
“Media jangan hanya berharap pada satu sumber pendapatan. Dunia sudah berubah. Pemerintah siap mendukung, tapi yang paling penting, media harus siap berinovasi,” pungkasnya. (bersambung)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.