DIALOG “Masa Depan Pers Kalimantan Timur: Kebebasan, Etika, Bisnis Berkelanjutan, dan Publisher Rights” yang digelar di Hotel Fugo Samarinda, Sabtu (11/10), berlanjut ke sesi inti setelah pembukaan resmi oleh Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji.
Forum yang menjadi bagian dari Musdalub Serikat Perusahaan Pers (SPS) Kaltim 2025 ini menghadirkan tiga narasumber utama: Kepala Diskominfo Kaltim H.M. Faisal, S.Sos., M.Si., Wakil Ketua Umum SPS Pusat Suhendro Boroma, serta Direktur Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Dian Andi Nur Azis, S.IP., M.Han., yang menyampaikan paparannya secara virtual melalui Zoom Meeting.
Dian membuka pemaparan dengan data terbaru Dewan Pers 2024 yang mencatat 5.019 perusahaan pers beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 77 persen merupakan media siber, namun hanya 1.789 media yang telah terverifikasi secara administratif maupun faktual.
Menurutnya, proses verifikasi Dewan Pers bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen penting untuk menilai tata kelola, kesejahteraan pekerja, dan kredibilitas perusahaan media. “Kendala utama banyak media daerah bukan pada semangat, tetapi pada kesiapan administratif dan kesejahteraan pekerjanya,” ujarnya.
Ia juga menyebut Kaltim termasuk dalam lima besar provinsi dengan jumlah media terbanyak di Indonesia, sejajar dengan Lampung, Sumatera Utara, dan Riau. Namun, tingginya jumlah media belum otomatis menunjukkan kekuatan kelembagaan. “Jumlah medianya besar, tapi belum semuanya terhimpun di wadah resmi seperti SPS,” katanya.
BRIN, lanjut Dian, mencatat adanya pergeseran besar dalam lanskap jurnalisme, di mana tekanan ekonomi dan model bisnis berbasis klik menyebabkan turunnya standar kerja.
Fenomena “low-pay” dan “no-pay journalism” kini menjadi persoalan serius. Banyak jurnalis bekerja tanpa status tetap, dengan upah rendah, bahkan tanpa jaminan sosial. “Model ini melahirkan jurnalisme cepat saji — hanya mengejar klik ketimbang makna — yang pada akhirnya menggerus kepercayaan publik,” katanya.

(Foto: Istimewa)
Ia mengutip data Edelman Trust Barometer 2024 yang menunjukkan hanya 59 persen masyarakat Indonesia masih percaya pada media arus utama. Sementara itu, data Dewan Pers Semester I 2025 mencatat 625 pengaduan terhadap media siber, jumlah tertinggi dalam empat tahun terakhir. “Lebih dari 75 persen masyarakat kini mengonsumsi berita dari media sosial, bukan dari portal berita utama,” katanya sambil menampilkan grafik tren konsumsi digital.
Dian memaparkan tiga penyebab utama krisis kepercayaan publik terhadap media. Pertama, menjamurnya judul sensasional yang menggeser fokus dari akurasi ke popularitas. Kedua, pergeseran fungsi media yang lebih sering menghibur ketimbang mendidik. Ketiga, native advertising yang membuat batas antara konten berbayar dan produk jurnalistik menjadi kabur.
Ia juga menyoroti ancaman serius bagi media lokal, mulai dari potensi penutupan akibat efisiensi anggaran, hilangnya suara daerah dalam pemberitaan nasional, hingga kesenjangan informasi antara media besar dan kecil. “Jika informasi daerah terus kalah oleh algoritma berita nasional, maka kita kehilangan cermin atas kehidupan masyarakat lokal,” ujarnya.
Namun, di balik tantangan itu, Dian tetap melihat peluang baru untuk bangkit, salah satunya melalui revitalisasi media lokal berbasis komunitas (hyperlocal), yakni media yang fokus pada isu spesifik wilayah tertentu. “Model ini terbukti mampu bertahan karena dekat dengan kebutuhan masyarakat dan relevan secara sosial,” jelasnya.
Ia juga menyinggung model bisnis alternatif seperti sistem langganan konten dan kemitraan komunitas. Dian mencontohkan Hukumonline.com yang berhasil bertahan dengan model berbayar karena fokus menggarap satu bidang dengan analisis mendalam. “Media lokal bisa mengambil inspirasi dari sini, tentu dengan adaptasi yang realistis terhadap kondisi daerah,” tambahnya.
Bagian paling menarik dari paparannya adalah soal kecerdasan buatan (AI). Menurut Dian, AI merupakan pisau bermata dua — bisa menjadi alat bantu sekaligus ancaman. Saat ini, AI lebih banyak digunakan untuk mempercepat produksi konten, namun berisiko menghapus peran redaksi dan sumber berita asli. “Google dan Meta kini bisa merangkum berita tanpa mengarahkan pembaca ke media sumber. Ini ancaman nyata bagi keberlangsungan media lokal,” tegasnya.
Meski begitu, ia menilai teknologi AI tidak boleh dianggap musuh. Justru harus dimanfaatkan untuk verifikasi fakta, analisis data, dan riset publik. “Jurnalisme pasca-clickbait bukan tentang menolak teknologi, tetapi bagaimana menggunakannya untuk kepentingan publik,” tandasnya. “Masa depan media lokal bergantung pada kemampuan menyeimbangkan inovasi dengan integritas,” tutupnya. (bersambung)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.