RANGKAIAN FGD “Validasi Naskah Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil” di Samarinda ditutup dengan pemaparan reflektif dari Peneliti Perludem, Haykal. Ia merangkum beragam pandangan yang muncul sepanjang diskusi, mulai dari kalangan akademisi, praktisi, jurnalis, hingga aktivis mahasiswa.
Menurutnya, proses penyusunan naskah akademik kodifikasi ini telah berlangsung bertahap selama tiga tahun, melalui serangkaian riset dan policy brief yang kini dirangkai menjadi satu naskah utuh dengan rancangan aturan pelaksana.
Langkah ini dilakukan agar semangat perubahan di tingkat undang-undang tidak kembali hilang di peraturan turunannya, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kebijakan afirmasi perempuan.
Haykal menekankan pentingnya penataan ulang representasi politik, terutama dalam pembagian kursi DPR antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan yang masih berat di wilayah padat penduduk, menurutnya, perlu dikoreksi agar prinsip keadilan representatif benar-benar terasa. Ia menjelaskan bahwa gagasan pembagian proporsional bukan untuk menciptakan dikotomi, melainkan untuk menyeimbangkan hak politik warga di seluruh Indonesia.
Dalam hal penyelenggara pemilu, ia mendorong agar proses seleksi benar-benar steril dari pengaruh politik. Presiden dan DPR, menurutnya, cukup berperan pada tahap konfirmasi, bukan lagi uji kelayakan yang sering membuka ruang transaksi kekuasaan.
Haykal mengusulkan agar tim seleksi mengajukan dua paket calon, sementara presiden hanya memilih satu, sehingga intervensi dapat diminimalkan. Untuk tingkat daerah, kewenangan seleksi sebaiknya dikembalikan ke provinsi, namun tetap dengan pengawasan pusat agar standar profesional tetap seragam.
Ia juga mengingatkan pentingnya rotasi dan publikasi hasil setiap tahap seleksi, termasuk deklarasi afiliasi calon terhadap ormas atau partai sejak awal, agar transparansi menjadi budaya, bukan seremonial.
Haykal juga menyinggung efisiensi demokrasi yang kerap diabaikan. Kampanye politik, katanya, perlu diarahkan ke pola yang lebih dialogis dan ramah lingkungan. Penggunaan baliho, spanduk, dan bendera hanya memperburuk wajah kota dan tidak menyampaikan gagasan apa-apa selain citra. Pembatasan belanja kampanye dinilai bisa mendorong persaingan yang lebih sehat dan berfokus pada ide, bukan modal.
Dalam konteks kelembagaan, Haykal mengusulkan penguatan Bawaslu agar tidak hanya berperan administratif, tetapi lebih ke arah ajudikatif dengan kewenangan penindakan yang jelas.
Ia menilai fungsi pencegahan bisa dilakukan bersama partai politik, masyarakat sipil, dan media, sementara fokus utama Bawaslu semestinya pada penegakan hukum yang efektif. Ia menyinggung pula kendala di lapangan, sebagaimana disampaikan oleh sejumlah mantan penyelenggara, bahwa banyak perkara berhenti di tengah jalan karena keterbatasan waktu dalam penanganan.

Pada Pilkada, waktu yang tersedia hanya beberapa hari untuk kajian dan pembahasan, sedangkan pada Pemilu batas waktunya dua pekan. Kondisi ini membuat banyak pelanggaran tidak bisa diselesaikan karena alat bukti belum cukup, sementara tekanan politik terus berjalan. Kodifikasi yang baru, katanya, harus memberi ruang yang lebih proporsional bagi pembuktian dan memastikan Bawaslu dapat bekerja tanpa rasa takut.
Dalam bagian lain, Haykal menyambut baik penguatan kembali peran Komisi ASN sebagai penjaga netralitas birokrasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang terbaru. Ia menyebut netralitas ASN sebagai pintu masuk penting untuk menjaga integritas kontestasi politik, karena birokrasi yang netral akan menjadi penyangga utama keadilan elektoral.
Sementara itu, dalam sistem kepartaian, Haykal menawarkan konsep bertingkat agar partai dapat tumbuh dari lokal menuju nasional berdasarkan kapasitas dan tata kelola, bukan sekadar kekuatan modal. Pendekatan ini diharapkan mendorong meritokrasi, memperluas partisipasi daerah, dan menekan dominasi elite lama. Ia juga menegaskan bahwa kuota 30 persen keterwakilan perempuan harus dipertahankan di seluruh level kelembagaan politik, disertai pengunci agar tidak ditafsir longgar.
Di akhir pemaparannya, Haykal menyimpulkan bahwa arah kodifikasi ini seharusnya berpijak pada tiga hal mendasar: keadilan representasi, integritas kelembagaan, dan efisiensi demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi pijakan konstitusional, sementara kerja masyarakat sipil adalah memastikan semangat reformasi itu tetap utuh hingga peraturan teknis. Forum ditutup dengan satu pesan bersama: pemilu Indonesia harus lebih adil, lebih efisien, lebih ramah lingkungan, dan dijalankan oleh penyelenggara yang benar-benar independen serta akuntabel. (selesai)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.




