Dua hari terakhir, jagad media sosial ramai memperbincangkan potongan tayangan sebuah program televisi nasional yang menggambarkan kehidupan di Pondok Pesantren Lirboyo dengan cara yang tidak pantas.
Dalam tayangan itu terdengar narasi yang menyebut, “santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” bahkan menyinggung soal santri yang “rela ngesot demi amplop dari kiai.”
Narasi itu dianggap melecehkan martabat kiai, santri, dan tradisi pesantren. Gelombang protes datang dari berbagai pihak. Alumni, pengasuh, hingga tokoh keagamaan. Tagar boikot sempat menjadi trending topic. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun diminta menindak tegas. Dalam mediasi, pihak penyiar meminta maaf dan mengakui keteledoran produksi, serta berjanji menarik tayangan tersebut. Namun yang lebih penting dari semua ini adalah luka moral yang ditinggalkan di hati umat.
Saya pribadi ikut prihatin. Sebagai orang tua dari anak-anak yang tumbuh di lingkungan pesantren, saya tahu betul kehidupan di sana. Anak kedua saya baru saja lulus dari Gontor dan kini mengabdi di Gontor 3 Kediri. Anak ketiga saya saat ini duduk di kelas 3 setingkat SMP di Pondok Daarul Ukhuwah Malang. Sedangkan anak pertama saya menempuh pendidikan SMP dan SMA di Daarul Hikmah Boarding School (DHBS) Bontang, dan kini sedang kuliah.
Sebagai orang tua, saya bersyukur anak-anak saya tumbuh dalam kultur pesantren. Jauh dari hiruk-pikuk kota, tapi dekat dengan nilai-nilai luhur. Mereka belajar disiplin, sederhana, dan menghormati guru. Mereka mencuci pakaian sendiri, tidur di kasur tipis, dan tetap bersemangat menjalani hari. Di pondok, satu sendok nasi yang tersisa bisa menjadi pelajaran tentang rasa syukur, bukan bahan olok-olok.
Saya sering mendengar langsung cerita mereka: bagaimana setiap kesalahan dijadikan bahan introspeksi, bukan tontonan. Bagaimana ilmu ditanamkan lewat contoh, bukan sekadar hafalan. Itulah mengapa saya sulit menerima jika kehidupan santri digambarkan dengan nada ejekan. Sebab pesantren bukan sekadar tempat belajar agama. Pesantren adalah tempat membentuk karakter dan kejujuran.
Di Kaltim, banyak pesantren berdiri di tengah geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dari Samarinda hingga Kutai Kartanegara, dari Bontang hingga Berau, para kiai dan guru ngaji membimbing generasi dengan sabar dan tulus. Mereka mungkin tidak populer, tapi kehadirannya nyata di tengah masyarakat.
Media boleh mengabarkan apa saja, tapi jangan sampai mengaburkan nilai. Karena di balik setiap santri yang jongkok minum air, ada adab yang sedang dijaga. Di balik setiap amplop yang diberikan kepada guru, ada rasa hormat yang sedang diajarkan.
Pesantren tidak sibuk mencari sensasi. Mereka hanya menjalankan tugasnya. Mendidik dengan ketulusan dan menjaga akhlak generasi. Dari sanalah kita belajar, bahwa kehormatan tidak perlu ditunjukkan, cukup dijaga dengan adab. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.