Saya datang ke Hotel Bintang Sintuk, Bontang, bukan sekadar memenuhi undangan seremonial. Saya hadir sebagai salah satu narasumber dalam Kegiatan Penguatan Kelembagaan Bawaslu Bersama Mitra Kerja, sekaligus membawa pengalaman tujuh tahun mengabdi di Bawaslu Bontang. Dari pengalaman itulah saya meyakini, demokrasi hanya bisa tegak jika pengawasnya kuat.
Kegiatan Senin (22/9) ini mempertemukan banyak sosok yang berarti dalam perjalanan saya. Dari Bawaslu Kaltim hadir Ketua Hari Dermanto bersama anggota Galeh Akbar Tanjung dan Danny Bunga. Dari Bontang, ada Ketua Bawaslu Aldy Artrian, rekan yang pernah bersama saya menjalankan tugas pengawasan selama dua periode—satu periode ad hoc setahun dan satu periode penuh 2018–2023.
Momen ini juga terasa istimewa dengan hadirnya dua anggota DPR RI dari Dapil Kaltim, Edy Oloan Pasaribu dan KH Aus Hidayat Nur. Kehadiran mereka bukan hanya menambah bobot kegiatan, tetapi juga membuka ruang perkenalan baru. Apalagi kegiatan ini memang bagian dari kolaborasi Komisi II DPR RI dengan Bawaslu RI.
Selama ini saya hanya intens berkomunikasi dengan Hetifah Sjaifudian. Karena itulah, kesempatan berbincang langsung dengan Edy dan KH Aus, bahkan sempat duduk semeja sebelum acara dimulai, menjadi pengalaman yang berbeda.
Dalam sambutannya, Edy berbicara lugas. Ia menilai pemilu akan rusak jika netralitas ASN dibiarkan longgar dan politik uang terus berkeliaran. Politisi PAN ini juga menyoroti Pemilihan Suara Ulang (PSU) yang membebani anggaran akibat kelalaian administrasi. Pesannya jelas: masalah harus diselesaikan di awal, bukan dibiarkan meledak di akhir. Saya sependapat, karena setiap PSU bukan hanya menguras uang negara, tetapi juga mengikis kepercayaan rakyat.
Giliran KH Aus berbicara. Politisi PKS ini menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kerap menimbulkan paradoks. Secara hukum final dan mengikat, tetapi di lapangan justru menghadirkan masalah baru. Ia menyinggung Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, keputusan itu bisa membuka ruang perbaikan, tetapi juga berpotensi menambah kerumitan aturan dan beban politik.
Ia mengingatkan agar putusan yang dimaksudkan memperbaiki kualitas demokrasi tidak malah menciptakan persoalan baru. Soal ijazah, ia juga menekankan bahwa verifikasi harus tuntas sejak awal, bukan dipersoalkan setelah orang menjabat. Pesannya tegas: demokrasi akan runtuh bila pengawas tidak berani, aparat tetap terjebak pola lama, dan lembaga hukum gagal meyakinkan publik.

Ia pun menyebut oligarki sebagai biang kerusakan. Selama politik tunduk pada kepentingan modal, pemilu hanya akan menjadi panggung kekuasaan, bukan ruang rakyat.
Memasuki sesi materi, suasana bergeser lebih fokus. Anggota DPR RI dan jajaran Bawaslu Kaltim harus segera bertolak ke Kutai Timur untuk agenda serupa. Sesi penguatan kelembagaan kemudian dipercayakan kepada dua narasumber: saya, sebagai praktisi hukum sekaligus mantan anggota Bawaslu Bontang, dan Dr. Yogo Pamungkas, Tenaga Ahli DPR RI sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Jalannya diskusi dipandu Ismail, anggota Bawaslu Bontang.
Dalam paparannya, Yogo mengingatkan bahwa inti persoalan ada pada kualitas manusia. Aturan boleh lengkap, prosedur boleh rapi, tetapi jika dijalankan oleh orang yang salah, hasilnya tetap bengkok. Sebaliknya, aturan yang belum sempurna bisa berjalan baik jika dijalankan oleh orang yang benar. Pesannya, demokrasi tidak akan diselamatkan oleh tumpukan pasal, melainkan oleh integritas orang-orang yang menegakkannya.
Saat tiba giliran saya, saya memulai dari hal mendasar. UUD 1945 menegaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. UU 7/2017 memberi fondasi kewenangan Bawaslu, sementara Perpres 12/2025 menekankan pentingnya demokrasi substansial. Aturannya lengkap, Perbawaslu juga memberi pedoman teknis.
Tetapi realitas di lapangan sering berbeda: Hoaks merajalela, ASN ditarik kiri-kanan, dan keputusan hukum kerap jauh dari rasa keadilan. Karena itu saya tegaskan, Bawaslu tidak boleh berhenti sebagai penjaga prosedur, melainkan harus berdiri sebagai penjaga integritas.
Kini Kaltim bersiap menghadapi kontestasi politik yang semakin ketat. Taruhannya jelas: ASN harus netral, fasilitas negara dicegah sejak awal agar tidak disalahgunakan, dan politik uang ditangani dengan cara yang sesuai zaman.
Putusan MK 135 memberi peluang agar isu lokal lebih menonjol dan beban penyelenggara lebih ringan. Namun tanpa revisi UU yang baru dibahas 2026, putusan ini juga bisa menimbulkan kerumitan. Karena itu, Bawaslu harus menyiapkan diri sejak sekarang—dengan kelembagaan yang lebih lincah, kapasitas pengawas hingga desa, protokol penegakan hukum yang tegas, serta akses penuh terhadap data pemilih.
Publik sering bertanya kenapa Bawaslu terlihat pasif. Faktanya, banyak kasus berhenti di awal karena bukti kurang atau pasal tidak terpenuhi. Masalahnya, jarang ada penjelasan terbuka. Akibatnya muncul kesan Bawaslu diam. Komunikasi harus diperbaiki: informasi cepat, jelas, berbasis data, dan mudah dipahami masyarakat.
Harapan warga: wasit yang adil, aturan yang jelas, dan hasil yang bisa diterima akal sehat. Jika ASN netral, uang tidak membeli suara, administrasi rapi, dan lembaga hukum konsisten, pemilu akan diterima dengan kepala tegak.
Demokrasi adalah alat, bukan tujuan. Putusan MK 135 bisa jadi peluang, bisa juga jadi masalah. Tergantung apakah kita mau memperbaiki prosedur sambil menjaga substansi. Bagi saya, demokrasi hanya sehat bila diawasi dengan berani dan dijalankan secara transparan. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Praktisi Hukum; Mantan Anggota Bawaslu Bontang