GUBERNUR Kaltim Rudy Mas’ud akhirnya menetapkan empat direktur utama (dirut) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) melalui Pengumuman Nomor 500/19681/EK yang ditandatangani 11 September 2025. Nama-nama itu adalah Muhammad Iqbal (PT Migas Mandiri Pratama Kaltim), Siti Hamnah Ahsan (PT Ketenagalistrikan Kaltim), Aji Mohammad Abidharta Wardhana Hakim (PT Kaltim Melati Bhakti Satya), dan Widyasmoro Eko Prawito (PD Sylva Kaltim Sejahtera).
Keputusan ini sekaligus menjawab teka-teki panjang sejak diumumkannya 30 nama kandidat yang lolos tiga besar pada Agustus lalu. Nama-nama besar sempat menghiasi daftar, termasuk Ari Askhara, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, yang akhirnya hanya bertahan di tahap administrasi.
Namun, pengumuman kali ini hanya menyebut nama empat dirut. Padahal, dari daftar yang sempat dirilis sebelumnya, ada pula kandidat untuk posisi strategis lain seperti direktur operasional, keuangan, dan SDM. Misalnya, di PT Migas Mandiri Pratama Kaltim tercatat nama Akbar Soetantyo, Edy Kurniawan, dan Muhammad Iqbal di posisi dirut, sementara kursi operasional diisi Nurhadiyanto Herry Wibowo, Nurkhalis, dan Ruswan, serta posisi keuangan/SDM ditempati Abdul Azis Muslim, Ari Nugroho Wibisono, dan Samsudin.
Formasi serupa juga terlihat di PT Ketenagalistrikan Kaltim, PT Kaltim Melati Bhakti Satya, hingga PD Sylva Kaltim Sejahtera. Bahkan di PT Pertambangan Bara Kaltim Sejahtera muncul nama A Adhigustiawarman F, Musdalifah Adam, dan Nurul Harmani Wirawan untuk posisi direktur utama.
Dengan hanya diumumkannya empat kursi dirut, pertanyaannya: bagaimana dengan posisi penting lainnya? Apakah masih menunggu proses lebih lanjut, atau ada pertimbangan lain di tingkat pengambil keputusan?
Seleksi BUMD sejak awal memang mendapat perhatian publik. Wajar, sebab posisi yang diperebutkan sangat strategis bagi perekonomian daerah. Kehadiran panitia seleksi dengan figur berintegritas, seperti Bambang Widjojanto dan Tuhiyat, menjadi sinyal bahwa proses ini tidak sekadar formalitas. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan gubernur.
Karena itu, masyarakat menaruh harapan besar agar pilihan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan daerah.
Di saat yang sama, badai fiskal kian terasa nyata. Estimasi perhitungan Dana Transfer Umum (DTU) 2026 yang sempat diposting dalam status whatsapp Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni, memperlihatkan penurunan tajam pada alokasi untuk Provinsi Kaltim.
DAU turun dari Rp1,068 triliun pada 2025 menjadi Rp894 miliar di 2026. Lebih mencolok lagi, DBH yang pada 2025 mencapai Rp6,067 triliun anjlok menjadi Rp1,423 triliun di 2026.
Di Bontang, tekanan fiskal makin terasa. Estimasi menunjukkan DAU turun dari Rp274 miliar pada 2025 menjadi Rp229 miliar di 2026. DBH bahkan merosot tajam, dari Rp1,239 triliun menjadi Rp290 miliar. Tak heran Neni Moerniaeni menulis di statusnya: “Tolak ketidakadilan. Seyogyanya DBH tidak dapat dipotong, karena pembagiannya diatur menurut UU HKPD yang sangat jelas prosentasenya.”
Angka ini bukan sekadar data di atas kertas, melainkan peringatan bagi daerah penghasil migas. Bagi Bontang yang sangat bergantung pada DBH, penurunan tajam jelas akan mengganggu banyak program strategis. Situasi inilah yang membuat peran BUMD semakin penting, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
BUMD tidak bisa lagi dipandang sekadar lembaga bisnis milik daerah, tapi pilar penopang ekonomi Kaltim, terutama ketika kabar pemangkasan DAU dan DAK semakin santer.
Sumbangan ke PAD kini krusial, menjadi kunci agar Kaltim tetap kuat di tengah tekanan fiskal dan siap menyambut Ibu Kota Nusantara (IKN)
Dalam konteks itu, penetapan empat direktur utama BUMD membawa harapan baru. Muhammad Iqbal di Migas Mandiri Pratama ditunggu kiprahnya mengamankan porsi PI 10 persen migas yang vital bagi kas daerah.
Siti Hamnah Ahsan di Ketenagalistrikan harus mampu menjawab tantangan energi bersih sekaligus menjaga keterjangkauan listrik.
Aji Mohammad Abidharta Wardhana Hakim, dengan latar akademis dan pengalaman keuangan, dituntut membawa Melati Bhakti Satya keluar dari stagnasi.
Sementara Widyasmoro Eko Prawito di Sylva Kaltim Sejahtera memikul tugas berat memastikan pengelolaan hutan tetap seimbang antara ekologi dan ekonomi.
Namun, ini baru empat kursi. Masih ada posisi lain yang belum diumumkan. Penundaan hanya akan menimbulkan spekulasi. Apakah persoalannya teknis, atau justru tarik-menarik politik? Publik berhak tahu, karena BUMD adalah milik bersama, bukan sekadar arena kompromi elit.
Masyarakat Kaltim tidak butuh janji, tapi kerja nyata. BUMD harus jadi penggerak ekonomi, bukan tempat ‘parkir’ jabatan. Di tengah menurunnya transfer pusat, jalan satu-satunya adalah mengoptimalkan potensi daerah dengan tata kelola yang profesional, transparan, dan berpihak pada publik.
Perjalanan masih panjang. Publik menunggu: apakah Gubernur Rudy menuntaskan proses ini dengan tegas, atau membiarkan kompromi yang bisa menggerus kepercayaan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.