spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Trunajaya Bontang Ditutup, Alumni-Dosen Gagas Kampus Baru

Sejumlah perkara hukum yang saya tangani bersama Arief Widagdo Soetarno, S.H., M.Si., mempertemukan kami dengan para dosen dan alumni Universitas Trunajaya (Unijaya) Bontang. Percakapan yang awalnya formal berubah jadi ruang curhat kolektif. Kampus yang dulu kami banggakan, kini tinggal cerita pahit.

Pak Arief—mantan Dekan Fakultas Hukum dan Wakil Rektor I—bersama Bahrodin, S.H., M.Hum., eks Wakil Rektor III, menyampaikan keprihatinan yang sama. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Unijaya tumbuh lalu tenggelam. Bukan karena kekurangan mahasiswa atau kalah saing, tapi karena salah kelola dan dominasi segelintir keluarga yayasan yang memosisikan kampus sebagai aset pribadi, bukan lembaga publik.

“Kalau ego yang ditonjolkan, kita sedang merusak diri,” ucap Bahrodin. Sementara Arief mengaku, sistem internal kampus tertutup, tak ada ruang untuk mengingatkan. Ia juga menyebut gajinya selama mengajar pun belum dibayar penuh. “Kalau dihitung, tunggakannya sudah puluhan juta,” ujar Arief yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun sebagai dosen.

Saya juga berbincang dengan Dr. Yantje Yophie Turang, S.H., M.Si., Rektor periode 2023–2027. Ia sempat mencoba menyelamatkan kampus, bahkan membuka peluang akuisisi yayasan, tapi mentok. Lagi-lagi karena sikap tertutup pihak yayasan.

Baca Juga:   Normalisasi Karang Mumus: Dari Penolakan Warga hingga Akselerasi di Era Andi Harun

Keprihatinan juga datang dari Rustam, alumni Fakultas Ekonomi yang kini menjabat anggota DPRD Bontang. Ia menyesalkan penutupan kampus yang pernah membentuknya. “Bontang tetap perlu kampus dengan program studi unggulan. Nanti awal bulan kita bisa diskusikan bareng,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Agusyani, SE, M.Si., salah satu dosen Fakultas Ekonomi. Ia turut menyampaikan kesedihannya. Beberapa mahasiswa bimbingannya di semester akhir tak bisa menyelesaikan studi. “Mereka sudah tinggal skripsi, tapi semuanya terhenti,” ucapnya sedih.

Kekacauan sistemik ini juga diungkap Miswanto, alumni yang dua kali menjadi kuasa hukum Unijaya. Ia pernah mendampingi mahasiswa yang hendak pindah ke kampus lain, namun dipersulit dengan berbagai alasan. “Mereka saya suruh datang untuk dibantu, tapi malah takut dan ragu,” katanya.

Yang lebih fatal, data banyak mahasiswa tidak pernah diinput ke PDDikti—sistem resmi pelaporan akademik ke Kemendikbudristek. Akibatnya, status kuliah mereka tidak diakui negara, sehingga tak bisa dilanjutkan atau dipindahkan.

Istri Miswanto sendiri sempat kuliah di sana, namun tidak bisa melanjutkan. “Nilainya tidak keluar, status tak jelas. Kalau tidak masuk sistem, dianggap tidak kuliah,” ungkapnya.

Baca Juga:   Dialog SPS dan Masa Depan Pers Kaltim (2): Faisal Ingatkan Etika dan Inovasi di Tengah Krisis Media Digital

Ia juga menyoroti akta yayasan yang dinilai bermasalah. “Banyak nama pengurus yang sudah meninggal, tapi masih dicantumkan. Ini persoalan serius karena menyangkut legalitas dan tanggung jawab,” tambahnya.

Secara hukum, Unijaya menghadapi gugatan di Pengadilan Negeri terkait tata kelola yayasan, dan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk menyelesaikan sengketa hak-hak dosen dan tenaga pengajar, termasuk persoalan gaji dan status kepegawaian.

Putusan sempat bolak-balik antara dua yurisdiksi. Bahkan proses kasasi ke Mahkamah Agung sempat dimenangkan yayasan. Namun semua itu tak mengubah kenyataan bahwa manajemen kampus telah gagal.

SK pencabutan izin operasional keluar: Nomor 442/B/O/2025. Mahasiswa dipindahkan. DPRD sudah memanggil yayasan, tapi tak direspons. Pemerintah kota ingin membantu, namun tak diberi akses. Tak ada transparansi, tak ada tanggung jawab. Yang dikorbankan: mahasiswa, dosen, dan reputasi dunia pendidikan.

Sebagai kampus swasta pertama di Bontang, Unijaya dulunya sangat diminati, terutama jurusan hukum, ekonomi, dan teknik. Ribuan alumninya tersebar di sektor publik dan swasta. Tapi semua itu tak berarti bila kampus dikelola seperti milik pribadi.

Baca Juga:   Sri Mulyani Lengser, Purbaya Naik, Kaltim Menanti Kepastian Fiskal

Negara memang mencabut izinnya, tapi pembiaran di tingkat lokal tak bisa diabaikan.

Saya adalah alumni Ilmu Hukum Unijaya, lulusan 23 Agustus 2023—angkatan terakhir sebelum kampus ini ditutup. Saya menempuh pendidikan hukum untuk memperkuat tugas saya di Bawaslu Bontang. Maka ketika Unijaya resmi ditutup, saya turut prihatin. Sebab kami tahu, ini bukan kecelakaan. Ini kehancuran yang dibiarkan.

Namun masih ada harapan. Sudah waktunya alumni bangkit. Bentuk yayasan baru. Bangun kampus baru yang lebih sehat. Tak perlu mewah. Tak perlu nama besar. Yang penting jujur, terbuka, dan profesional.

Bontang tetap butuh kampus berkualitas. Fokus pada prodi yang dibutuhkan. Jaga kualitas akademik. Gaji dosen harus lancar. Administrasi harus rapi. Alumni bisa jadi pengelola, pendiri, bahkan pengajar.

Unijaya memang sudah tutup. Tapi pelajarannya jangan ikut dikubur. Harapan jangan padam. Pendidikan adalah amanah. Jika kita abai, bukan hanya kampus yang runtuh, tapi juga kepercayaan terhadap masa depan.

Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Alumni Ilmu Hukum Universitas Trunajaya Bontang
Pemimpin Redaksi Media Kaltim News Network

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img