spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Catatan FGD Kodifikasi UU Pemilu (1): Dari Samarinda, Gagasan Baru untuk Reformasi Sistem Kepemiluan

KAMIS (30/10) pukul 05.00 Wita subuh tadi, selepas salat Subuh, saya berangkat dari Bontang menuju Samarinda. Jalan masih lengang, udara pagi terasa sejuk. Sekitar tiga jam perjalanan saya tempuh agar bisa tiba tepat waktu di Hotel Aston, tempat berlangsungnya Focus Group Discussion (FGD) bertema “Validasi Naskah Kodifikasi Undang-undang Pemilu Usulan Masyarakat Sipil.”

Acara ini digelar oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bekerja sama dengan Klinik Pemilu Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Saya memang sudah niatkan hadir dan tak ingin melewatkan undangan ini.

Pertama, karena undangan yang disebar terbatas dan hanya dua media yang diundang mewakili kalangan pers. Kedua, topiknya sangat penting karena membahas rancangan kodifikasi UU Pemilu pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Ketiga, saya ingin bersilaturahmi dengan para senior di dunia kepemiluan, mengingat saya pernah berkiprah di Bawaslu Bontang selama tujuh tahun, sejak 2015 hingga 2023 — dua tahun di masa badan ad hoc dan lima tahun saat lembaga sudah permanen.

Saya ingin bertemu Syaiful Bachtiar, dua periode Ketua Bawaslu Kaltim, dan Budiman, yang pernah menjadi anggota Tim Seleksi Bawaslu. Selain itu, saya juga tertarik mendengarkan langsung pandangan para peneliti Perludem, lembaga yang kiprahnya dalam reformasi kepemiluan sudah diakui luas.

Sejak berevolusi menjadi yayasan pada 2011, Perludem konsisten mengawal dinamika regulasi politik dan berkali-kali menjadi rujukan penting dalam berbagai uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka bukan sekadar lembaga riset, tetapi bagian dari dinamika perubahan hukum pemilu di Indonesia.

Suasana FGD Kodifikasi UU Pemilu yang digelar Perludem dan Klinik Pemilu FH Unmul di Hotel Aston Samarinda. Foto: Agus Susanto

Diskusi dimulai sekitar pukul 09.00 Wita dan berlangsung hingga menjelang pukul 13.00 Wita. Suasananya serius, tetapi tetap cair. Moderator membuka dengan pernyataan yang mewakili semangat forum: “Kami ingin menghimpun sebanyak mungkin masukan agar naskah lima buku kodifikasi ini lebih kuat dan komprehensif.”

Baca Juga:   CIMB Niaga 70 Tahun: Digitalisasi ‘Senjata’ Melawan Dominasi Bank BUMN

Peserta yang hadir datang dari beragam latar belakang. Akademisi Fakultas Hukum dan FISIP Universitas Mulawarman, jurnalis, aktivis AJI Samarinda, Koalisi Perempuan Indonesia, Pokja 30, hingga pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Semuanya terlihat antusias menyimak dan terlibat aktif.

Peneliti Perludem, Haykal, membuka paparan dengan penjelasan yang runtut dan substansial. Ia menjabarkan struktur besar kodifikasi yang disusun dalam lima buku utama: sistem kepemiluan, aktor pemilu, pelaksanaan pemilu, penegakan hukum, dan ketentuan penutup.

Dari paparannya, tergambar kerangka besar reformasi hukum pemilu yang ingin dibangun berdasarkan empat pilar utama: sistem kepemiluan, kelembagaan penyelenggara, manajemen tahapan, dan arsitektur penegakan hukum.

Salah satu gagasan yang paling menarik perhatian adalah usulan transformasi Bawaslu menjadi badan ajudikasi pemilu atau lembaga quasi peradilan. Ide ini lahir dari evaluasi panjang terhadap kondisi di lapangan, di mana fungsi pencegahan, pengawasan, dan penindakan yang dijalankan Bawaslu selama ini kerap tumpang tindih dan menimbulkan tafsir berbeda.

Dalam konsep baru ini, Bawaslu diarahkan untuk lebih fokus pada penyelesaian sengketa dan pelanggaran administratif, sementara penanganan pidana pemilu dikembalikan ke jalur penegakan hukum umum melalui kepolisian dan kejaksaan.

Pada saat yang sama, KPU juga diusulkan diperkuat melalui pembentukan struktur etik berjenjang yang memastikan mekanisme pengawasan internal berjalan lebih teratur dari pusat hingga daerah. Penguatan kelembagaan ini dinilai penting agar integritas penyelenggara terjaga secara menyeluruh.

Baca Juga:   Ketika Merah Putih Berkibar di Pedalaman Mului (1): Upacara Perdana, Pertamina Disambut Tangis Haru Warga

Hal lain yang menarik adalah keberanian Perludem mendorong afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen di dalam struktur penyelenggara pemilu. Bukan lagi dengan istilah “memperhatikan,” tetapi diwajibkan sebagai norma hukum yang mengikat. Usulan ini berangkat dari realitas di lapangan, di mana masih banyak daerah yang belum memiliki keterwakilan perempuan sama sekali di tingkat penyelenggara.

– Peserta FGD dari berbagai kalangan aktif menyampaikan pandangan dalam forum pembahasan kodifikasi UU Pemilu di Samarinda. Foto: Agus Susanto

Kodifikasi ini juga mengusulkan pengetatan syarat pencalonan anggota legislatif. Calon anggota DPR dan DPRD diwajibkan telah menjadi anggota partai politik minimal dua tahun sebelum dicalonkan. Tujuannya agar proses kandidasi tidak hanya bersifat instan menjelang pemilu, tetapi melalui mekanisme kaderisasi yang jelas dan berbasis meritokrasi. Dengan begitu, kualitas calon legislatif diharapkan meningkat dan partai terdorong memperkuat pembinaan internal.

Dalam aspek sistem kepemiluan, Perludem menawarkan penerapan sistem campuran atau Mixed-Member Proportional (MMP) yang memadukan proporsional tertutup dengan distrik berwakil tunggal. Sistem ini dianggap mampu menjaga keseimbangan antara proporsionalitas partai dan kedekatan wakil rakyat dengan pemilih di daerah.

Pada saat yang sama, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold juga menjadi topik yang turut dibahas. Perludem mengusulkan agar ambang batas ini ditinjau ulang, bahkan jika perlu dihapus, karena representasi politik sebaiknya diukur dari kompetisi yang sehat di daerah pemilihan, bukan dibatasi oleh angka tertentu di tingkat nasional.

Perubahan juga diusulkan terhadap syarat partai politik peserta pemilu. Jika selama ini berbasis administratif, seperti kewajiban memiliki seribu anggota di setiap kabupaten atau kota, maka dalam naskah baru ini orientasinya diubah menjadi berbasis kekuatan elektoral riil. Ukurannya adalah perolehan suara minimal setara satu kursi DPR, sekitar lima belas ribu suara. Pendekatan ini dianggap lebih rasional dan memberikan ruang bagi partai baru yang memiliki dukungan riil di masyarakat meski belum memiliki struktur besar secara nasional.

Baca Juga:   Satu Lubang untuk Kabur, Banyak Pelajaran untuk Kepolisian

Di bidang manajemen pemilu, Haykal menyampaikan bahwa tahapan penyelenggaraan dapat dipadatkan menjadi satu tahun dengan memindahkan beberapa proses administratif ke pra-pemilu. Masa kampanye diatur lebih ringkas, dimulai sejak penetapan peserta dan berakhir dua belas jam sebelum pemungutan suara. Kampanye rapat umum diatur hanya pada masa menjelang pemilihan.

Untuk dukungan teknologi, Perludem menegaskan bahwa digitalisasi diarahkan pada e-recap atau rekapitulasi elektronik yang transparan dan dapat diakses publik, bukan e-voting. Harapannya, ke depan akan ada portal satu pintu data pemilu yang memuat seluruh informasi secara real-time.

Naskah kodifikasi ini merupakan hasil kerja kolaboratif dari Koalisi Nasional untuk Reformasi Pemilu yang terdiri atas Perludem, PUSaKO FH Universitas Andalas, Puskapol UI, Netgrit, Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Themis Indonesia, dan Koalisi Perempuan Indonesia.

Diskusi yang berlangsung hingga siang terasa padat, tetapi tetap menarik. Setiap peserta aktif menyampaikan pandangan dan mencatat hal-hal penting untuk ditindaklanjuti. Saya optimistis, forum ini memberi harapan bahwa pembenahan hukum pemilu bisa dilakukan lebih efisien, terbuka, dan adil.

Tulisan berikutnya akan saya lanjutkan pada seri kedua, yang membahas perdebatan para narasumber soal sistem campuran, peran ajudikasi Bawaslu, dan rekrutmen penyelenggara. Seri ketiga akan berisi catatan rekomendasi dan refleksi akhir dari forum di Samarinda. (bersambung)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img