PENAHANAN dua pejabat Pemprov Kaltim, Zairin Zain selaku Ketua Pelaksana Sekretariat DBON Kaltim dan Agus Hari Kesuma sebagai Kepala Dispora Kaltim, menjadi kabar pahit bagi dunia olahraga di Bumi Etam.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Kaltim atas dugaan korupsi dana hibah Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) tahun anggaran 2023 senilai Rp100 miliar.
Miris rasanya. Dana sebesar itu seharusnya dipakai untuk menyiapkan atlet, membangun fasilitas, dan memperluas akses pembinaan olahraga di daerah. Namun, yang muncul justru kabar penyalahgunaan dan penyimpangan.
Publik dipaksa menerima kenyataan pahit bahwa cita-cita besar lewat DBON justru terganjal buruknya tata kelola anggaran.
DBON sendiri sejak awal digagas sebagai fondasi pembinaan atlet nasional secara terstruktur dan berkelanjutan. Kaltim bahkan menjadi satu-satunya provinsi yang membentuk DBON sebagai lembaga resmi dengan dukungan APBD yang sangat besar, yakni Rp100 miliar pada tahun 2023.
Padahal kebutuhan awalnya hanya Rp17 miliar. Lonjakan hingga Rp100 miliar menimbulkan tanda tanya. Mengapa lembaga yang baru berdiri dan belum genap setahun langsung diberi kewenangan mengelola dana sebesar itu? Bahkan sempat beredar dokumen internal pembagian hibah ke sejumlah lembaga olahraga, meski kemudian disebut sebagai draf awal.
Kini, setelah penyidikan berjalan dan dua pejabat ditahan, wajar publik kecewa. DBON yang semestinya menjadi kebanggaan justru berubah jadi catatan kelam. Pertanyaannya, benar untuk membangun prestasi, atau ada kepentingan gelap di balik angka Rp100 miliar? Padahal sejak awal DPRD Kaltim sudah mengingatkan agar penganggaran DBON diawasi ketat. Bahkan ada yang meminta evaluasi terbuka. Sayangnya, peringatan itu diabaikan.
Fakta dari kasus ini tidak terbantahkan. Anggaran besar tanpa pengawasan hanya melahirkan masalah. Kasus ini tidak boleh berhenti pada dua nama. Harus ada pembenahan menyeluruh dalam tata kelola hibah, apalagi yang bersumber dari APBD untuk olahraga.
Masyarakat berhak tahu ke mana setiap rupiah uang daerah dipakai. Kejati Kaltim harus menuntaskan perkara ini dengan objektif dan transparan, agar tidak muncul kesan setengah hati atau ada pihak yang dilindungi. Proses hukum harus memberi kepastian, sekaligus menjadi peringatan bagi siapa pun yang mencoba bermain dengan dana publik.
Pemprov Kaltim juga punya pekerjaan rumah besar mengembalikan kepercayaan publik. Caranya, perbaiki sistem hibah, perketat mekanisme, dan pastikan dana benar-benar untuk pembinaan atlet. Olahraga adalah simbol sportivitas dan fair play, tidak pantas dikotori praktik korupsi.
Atlet muda Kaltim tidak boleh dibesarkan di lingkungan yang korup. Mereka butuh teladan nyata, bukan janji. Kasus DBON ini bukti bahwa tanpa integritas dan akuntabilitas, dana besar hanya berakhir bencana. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.