spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dana Rp200 Triliun Mengalir ke Bank, Kredit Macet Mengintai Kaltim

PELANTIKAN Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 menggantikan Sri Mulyani langsung ditandai gebrakan besar. Ia menargetkan pertumbuhan ekonomi 6–7 persen, bahkan menyebut angka 8 persen bukan mustahil.

Gebrakan pertama yang diambil, mengalihkan Rp200 triliun dari saldo anggaran lebih (SAL) yang selama ini mengendap di Bank Indonesia ke bank-bank Himbara—Himpunan Bank Milik Negara yang terdiri dari Mandiri, BRI, BNI, BTN, serta BSI. Penempatan ini berpayung KMK No. 276/2025 dan mulai berjalan pada 12 September lalu.

Rinciannya, Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing mendapat Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun dalam bentuk deposito on call tenor enam bulan. Pemerintah memperoleh bunga sekitar 4,02% (80,476% dari BI Rate 5%). Aturan melarang penggunaan dana untuk membeli SBN. Uang negara ini wajib disalurkan ke sektor produktif. Untuk mitigasi risiko, ada mekanisme debit langsung ke GWM (giro wajib minimum) bila bank gagal mengembalikan penempatan, ditambah kewajiban laporan bulanan ke Kemenkeu dan pengawasan APIP.

Baca Juga:   Blunder Pajak di Pati vs Kebijakan Pro Rakyat ala Kaltim

Namun, persoalan perbankan bukan soal likuiditas. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut kredit macet UMKM di Himbara sudah mencapai Rp8,7 triliun, mayoritas dari portofolio KUR yang disalurkan Rp1.088 triliun pada 2022–2023. Sinyalnya jelas: hambatan ada pada daya serap dan kemampuan bayar, bukan pada dana. Dan jika di tingkat nasional masalahnya sudah terlihat, di Kaltim gejalanya justru lebih tajam karena struktur ekonominya sangat bergantung pada tambang.

Pertumbuhan ekonomi Kaltim 4,48% (2022) dan 6,22% (2023), tetapi sangat bergantung pada komoditas tambang. Saat harga dan produksi melemah, imbasnya cepat: efisiensi tenaga kerja, turunnya belanja rumah tangga, dan kredit konsumtif pegawai tambang yang mulai macet. Artinya, meski dana Rp200 triliun tersedia, pertanyaannya, usaha apa yang layak dibiayai di tengah ekonomi lesu?

Seorang pejabat bank Himbara yang saya kenal mengakui, saat ini bukan soal uangnya, masalahnya ada di usaha. “Dengan ekonomi lesu, bank harus ekstra hati-hati. Kalau dipaksakan, risikonya kredit macet,” tegasnya.

Ditambahkannya, prinsip dasar yang dipegang bank saat ini adalah hanya menyalurkan kredit pada bisnis dengan peluang berkembang. “Kalau tidak, bank yang blunder. Debitur tak tumbuh, kreditnya macet,” sebutnya. Ia juga menyebut kondisi riil Kaltim. “Di daerah yang bergantung pada tambang, kredit konsumtif pegawai ikut tertekan saat produksi turun. Itu realitas yang membuat bank tambah konservatif,” sambungnya.

Baca Juga:   Skandal Suap IUP Kaltim: KPK Tetapkan Donna Tersangka, Nama Awang Faroek Ikut Disebut

Pernyataan itu menggambarkan suasana kebatinan industri perbankan. Dana bisa mengalir deras, tapi bank tetap berhitung matang agar tidak terjebak ekspansi yang berujung kredit bermasalah.

Sementara itu, dari sisi tata kelola, Kaltim baru saja diguncang kasus kredit fiktif di Bankaltimtara. Nilainya Rp275,2 miliar dari 47 fasilitas berbasis SPK proyek yang ternyata palsu, dengan Rp15 miliar di antaranya ditemukan di Balikpapan. Modusnya klasik: dokumen proyek fiktif, verifikasi internal yang longgar, hingga keterlibatan oknum bank. Memang, kasus ini terjadi di BPD, bukan Himbara. Tapi suntikan dana Rp200 triliun ditambah target penyaluran yang tinggi membuat pengawasan ekstra ketat menjadi harga mati.

Risiko fiskal pun patut dicermati. Pemindahan SAL memang memberi likuiditas besar. Tapi jika penyerapan APBN tak seimbang atau transmisi kredit tersendat, dampaknya bisa menekan defisit sekaligus memicu inflasi. Karena itu, arah pembiayaan harus selaras dengan proyeksi pertumbuhan—baik nasional maupun Kaltim—agar kredit jatuh pada sektor dengan multiplier effect kuat: rantai pasok IKN, agro-maritim bernilai tambah, manufaktur ringan, logistik, dan ekonomi kreatif berbasis permintaan nyata.

Baca Juga:   Turap Baru 70 Persen, Banjir Bontang Belum Tuntas, Sampai Kapan?

Intinya, gebrakan Purbaya patut diapresiasi. Tapi masalah utama perbankan bukan kekurangan uang, melainkan lemahnya permintaan kredit dan daya bayar debitur. Dana jumbo Rp200 triliun hanya akan efektif bila disalurkan dengan disiplin prudent, pengawasan melekat, dan mitigasi risiko yang transparan.

Di Kaltim, yang paling mendesak adalah bagaimana UMKM, petani, nelayan, dan usaha penopang Ibu Kota Nusantara (IKN) benar-benar bisa mendapat kredit sehat tanpa menambah tumpukan kredit macet. Gebrakan boleh berani, tapi tanpa akuntabilitas hanya akan mengulang sejarah: percepatan kredit yang sembrono akhirnya membebani rakyat. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img