ADA satu hal yang selalu saya amati setiap kali seorang kepala daerah baru saja dilantik. Mereka biasanya mulai menimbang siapa saja yang akan duduk di jabatan strategis. Saya menyebutnya “kabinet daerah”. Meski berbeda dengan “kabinet presiden”, perannya sama vital. Namun demikian, mutasi tidak bisa dilakukan seketika. Ada aturan, mekanisme, dan batas waktu yang harus dipatuhi.
Seperti di Kaltim, pasca resmi dilantik 20 Februari 2025 lalu, para kepala daerah tidak bisa serta-merta mengganti atau merotasi pejabat. Regulasi jelas mengatur bahwa setiap pergeseran jabatan harus melalui prosedur formal. Mulai dari job fit, rekomendasi KASN, hingga izin Badan Kepegawaian Negara. Rambu ini penting agar wajah birokrasi berubah bukan karena selera, melainkan karena kinerja.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 73, menegaskan mutasi antarjabatan sah sepanjang sesuai kompetensi dan kebutuhan organisasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat, meski tetap dibatasi aturan teknis lain.
PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 mempertegas bahwa jabatan pimpinan tinggi wajib diisi lewat seleksi terbuka dengan rekomendasi KASN. Bahkan, Surat Edaran Mendagri menutup ruang mutasi enam bulan sebelum masa jabatan berakhir tanpa izin Mendagri.
Dengan landasan hukum itu, kepala daerah di Kaltim sejatinya sudah bisa melakukan mutasi sejak 21 Agustus 2025. Faktanya, baru Kutai Timur dan Kutai Barat yang sudah menggulirkan, sementara lainnya masih menunggu.
Tiga hari lalu saya sempat menghubungi Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni. Ia menjawab singkat, “Mungkin minggu depan.” Jawaban itu memberi sinyal bahwa Bontang sebentar lagi akan menggelar mutasi gelombang pertama. Ketua DPRD Bontang, Andi Faizal Sofyan Hasdam, juga mengaku sudah mendengar kabar tersebut. Menurutnya, prioritas memang mengisi jabatan kosong, meski peluang rotasi tetap terbuka. “Itu hak prerogatif kepala daerah,” ujarnya. Uniknya, Wakil Wali Kota Agus Haris justru belum tahu. “Kalau soal itu, saya belum dengar,” katanya ketika saya temui beberapa hari lalu di Perpustakaan Bontang.
Data BKPSDM mencatat ada lima jabatan eselon II, delapan jabatan eselon III, dan sepuluh jabatan eselon IV yang kini hanya dijabat pelaksana tugas. Semuanya tersebar di 13 OPD. Posisi strategis yang kosong antara lain Kepala DKUMPP, Kepala Dishub, Kepala Bapperida, Kepala Disdik, serta Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum.
Proses job fit akhir Agustus lalu menjadi pintu masuk. Sekda Bontang, Aji Erlynawati, memastikan hasil seleksi sudah diserahkan kepada kepala daerah. Pemerintah bahkan telah bersurat ke BKN untuk mengurus izin pelantikan. Dengan kata lain, daftar sudah ada di meja wali kota, tinggal menunggu keputusan politik birokrasi.
Dalam praktik politik lokal, mutasi kerap dimaknai bukan hanya sekadar perombakan birokrasi, tapi juga pengisian “kabinet” dengan orang-orang yang dianggap berjasa dalam memenangkan Pilkada.
Loyalitas dan kedekatan politik sering kali berjalan beriringan dengan pertimbangan kinerja. Itulah sebabnya, publik biasanya menyoroti siapa saja yang akan masuk gerbong. Apakah mereka murni dipilih karena kompetensi atau ada faktor balas budi politik yang ikut bermain.
Pelantikan pejabat di Kutai Barat (Kubar) dan Kutai Timur (Kutim) memberi pesan kuat bahwa birokrasi daerah harus bergerak. Bupati Frederick Edwin di Kubar melantik 70 pejabat administrator dan pengawas pada 22 Agustus, menegaskan integritas dan profesionalisme sebagai kunci.
Sementara di Kutim, Ardiansyah Sulaiman merotasi delapan pejabat eselon II demi memaksimalkan kinerja perangkat daerah. Dari dua daerah ini kita belajar, mutasi bukan sekadar formalitas, melainkan momentum untuk mempercepat kerja.
Bontang kini menanti giliran. Neni–Agus Haris sudah menyiapkan strategi. Job fit dijadikan instrumen, bukan sekadar seremonial. “Kami ingin berbenah,” kata Neni, memberi sinyal bahwa perombakan ini bukan akhir, melainkan awal konsolidasi birokrasi.
Mutasi pejabat bukan sekadar pergeseran kursi, tapi jadi penentu arah dan visi pemerintahan. Bagi ASN, ini ajang pembuktian. Bagi masyarakat, harapan akan pelayanan yang lebih baik. Dan bagi kepala daerah, inilah ujian pertama: apakah mutasi digerakkan oleh integritas dan kompetensi, atau hanya kompromi politik. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.